CERMIN

627 59 7
                                    

Paman Matun terengah-engah. Kegelapan mengelilinginya. Ia masih terbaring di tanah. Ditatapnya cincin yang dikenakannya. Ujungnya meleleh. Paman Matun berusaha bangun. Punggungnya nyeri. Pakaiannya kotor. Rambutnya berantakan dan digelayuti belatung kecil. Bocah kuburan dan sosok hitam itu sirna. Mayang, gadis itu belum juga menampakkan diri. Iringan awan hitam di langit hitam mulai menutupi bulan. Sinar pucatnya menimpa dedaunan di halaman.
Paman menghembuskan napas dan memejamkan mata. Ada sesuatu yang datang menghampirinya. Dadanya berdebar, namun ia mampu bersikap tenang.
Lantunan doa mengalun dengan keras dari mulutnya seiring datangnya makhluk bertubuh hancur. Makhluk itu menyeret dirinya dari lantai lorong panti asuhan menuju halaman. Tulang-tulangnya berkeriut nyaring. Kulit tubuhnya mengelupas dari wajah sampai pinggang. Kepalanya yang lonjong ditumbuhi sejumput rambut tipis dan menjuntai menutupi bola matanya yang sekeruh awan. Kain yang sudah compang camping membungkus tangan dan kakinya yasuhan terseret-seret.

Kretek kretek kretek

Makhluk itu membuka mulutnya lebar dan menimbulkan bunyi klik klak yang mengganggu. Rahangnya lepas diikuti semburan darah kental berisi ulat kecil-kecil. Makhluk lain berada di kakinya, terbungkus rapat dengan kain putih, kecuali wajahnya. Makhluk itu memeluk kaki kurus di depannya dan menggerakkan mulutnya seperti mengunyah sesuatu.
Paman Matun merentangkan tangannya, bersiap menyambut makhluk itu.
Ketika makhluk itu sudah dekat, ia tetap berdiri dan mendengarkan suara erangan kesakitan kedua makhluk yang sedang dihadapinya. Salah satu dari mereka menggapai-gapai dan meraih paman Matun. Bahu pria itu disentuhnya kasar. Wajahnya menempel di leher paman Matun. Napasnya yang bau berhembus.
Tiba-tiba paman Matun membuka matanya dan menghujamkan pandangannya pada makhluk itu.

" Istirahatlah, nak." kata paman Matun , tidak melepaskan tatapannya. Makhluk itu sedikit menjauh. Rahangnya terus berbunyi klik klak.

" Kau tidak pantas di sini. Pulanglah." paman Matun berbisik di telinganya dan melantunkan doa beserta mantra yang membuat kedua makhluk itu menjerit. Mereka mundur dan menggelepar hebat. Jemari mereka yang hanya berupa tulang belulang menggerus tanah. Suara lolongan meluncur dari mulut mereka. Kepala mereka menggangguk-angguk berulang kali, hingga akhirnya mereka menekuk diri dan terdiam.
Paman Matun menyaksikan kedua makhluk yang dulu manusia itu berubah wujud. Yang ditatapnya sekarang adalah dua tubuh manusia yang sangat pucat dan dingin. Mata mereka terpejam. Paman Matun menarik kain putih yang semula membebat mereka sampai ke kepala. Mariyem dan kepala desa. Kematian yang mengerikan telah merenggut mereka.  Paman Matun baru sadar bahwa ada dua mayat lain di panti asuhan, tepat di depan pekarangan. Tubuh mereka ditutupi kain. Mayang terlalu banyak membantai. Gadis itu harus dimusnahkan, gumam paman Matun dan mengambil sisa lilinnya. Begitu lilin itu kembali menyala, ia menyusuri lorong panti asuhan sembari mengingat-ingat wajah gadis itu. Betapa cantik gadis itu jika ia masih hidup, pikirnya kalut. Tapi setan sudah merasukinya. Pintu-pintu kamar menjeblak terbuka dan menutup kembali dengan cepat. Suara gamelan meliuk-liuk menelisik telinga paman Matun. Kemudian, tawa anak kecil  dengan nyanyian sedih seorang gadis. Kejadian itu terjadi begitu cepat. Paman Matun menjatuhkan lilinnya dan memegangi kepalanya yang berdenyut- denyut. Tanpa ia sadari, Mayang berdiri di belakangnya dan meraup kepala pria itu. Mayang menyeret paman Matun. Gadis itu terkekeh. Pria tua itu meringis, seolah-olah kulit kepalanya akan tercabut.
Sosok-sosok putih tinggi menjulang di sepanjang lorong, menyaksikannya diseret. Sekujur tubuh mereka sangat putih, dengan dua titik merah sebagai mata. Paman Matun tahu bahwa Mayang akan membantainya seperti yang lain. Gadis itu sangat murka. Ia ingin membunuh lagi. Cincin-cincinnya sudah meleleh dan tidak berfungsi lagi, kecuali bandul kalungnya. Paman Matun berpikir keras. Mayang mebebatnya dengan kain, kedua tangannya terlipat. Kini, ia terlihat seperti kepala desa, kain melapisinya sampai leher. Napasnya sesak. Mayang meloncat ke atas paman Matun. Gadis itu menyeringai dan menggoyangkan lidah hitamnya.

KalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang