KERANDA

1.3K 69 2
                                    

Pagi harinya, Mayang berdiri sambil menggenggam tangan nenek. Mereka ada di pinggir jalanan pasar. Orang-orang berbisik-bisik, memperhatikan mereka berdua. Nenek tidak terpengaruh akan suara-suara bising itu. Ia tetap sibuk memilah sayuran yang ia akan beli. Bau busuk bangkai tikus tercium, bercampur dengan sayuran yang sudah dibuang. Mayang melihat si pedagang sedang meneliti penampilan nenek.
" Gusti! Ada yang mati lagi!" pekik seorang wanita. Semua orang sontak menoleh ke arah datangnya kerumunan orang berpakaian serba hitam. Orang-orang itu mengangkut keranda ditutupi kain berwarna putih kusam. Mayang tidak bisa melepaskan pandangannya dari keranda itu. Ia mendapati sebuah tangan menjulur keluar dari balik kain penutup keranda. Sebuah tangan berbonggol. Nenek dengan tergesa-gesa menyerahkan uang belanjaan. Ia menarik tangan Mayang, menjauh dari kerumunan. Sementara orang-orang sibuk memperhatikan keranda itu, mereka berdua berjalan tertatih-tatih menuju rumah.
" Nik, Mayang ingin jajan," rengek Mayang begitu melihat tumpukan jajan yang dipenuhi parutan kelapa. Nenek menggerutu. Ia tetap berjalan dengan sekantung sayuran.
" Ninik!" teriak Mayang. Gadis kecil itu menghentakkan tangan neneknya dan mundur selangkah.
" Mayang...ayo pulang."
" Mayang ingin jajan!"
" Ninik akan buatkan jajan untuk Mayang di rumah."
" Mayang mau jajan itu!" sambil memekik Mayang berlari menuju pedagang jajan tadi. Tangan kecilnya meraup jajan itu. Si pedagang terkejur dan sontak mengusir Mayang.
" Setan! Pergi!" pedagang itu mengibaskan sendok kayu ke arahnya.
Nenek memeluk Mayang dan membawanya pergi sementara jemarinya lengket karena gula.
" Bawa gadis setan itu pergi jauh-jauh nenek bangka!" si pedagang langsung membereskan dagangannya dan berlalu. Mayang menangis. Suaranya nyaring. Memekakkan telinga. Nenek semakin cepat berjalan.
Nenek melemparkan kantung sayuran ke atas meja. Mayang masih menangis. Pipinya belepotan. Sisa-sisa parutan kelapa menempel di sekitar bibirnya. Namun, tangisannya berhenti ketika melihat seorang wanita tua, bukan neneknya, berdiri di sudut rumah. Pakaiannya compang-camping. Kebaya hijau yang sudah usang dan kamben cokelat. Rambutnya menjuntai seperti akar pohon. Wanita itu memunggui Mayang. Secara perlahan, ia menoleh. Wajahnya dihiasi kerutan.
" Mayang...." suaranya sangat lembut. Sedikit menyayat. Mayang teringat akan suara itu. Wanita itu menunduk, lalu menengadah secara tiba-tiba. Wajahnya kini menghadap Mayang. Mayang merasakan lidahnya kelu. Ia mundur. Terus mundur sampai tungkainya terantuk sesuatu. Dengan perasaan takut, ia melirik ke bawah. Sebuah keranda dengan kain penutup yang tersingkap tergeletak di dekat kakinya.
" Mayang, ayo....ikut." wanita itu mendekatinya. " Mayang...."
" Mayang....Mayang......"
Wanita itu mendorongnya menuju keranda. Mayang menggeleng dan menjauhi keranda. Wanita itu terkekeh dan berhenti mendekatinya. Namun, ia mendekati nenek. Ia akan merasuki nenek. Mayang semakin takut. Ia menggigit kuku jemarinya. Tepat saat wanita itu memeluk nenek dari belakang, Mayang menarik-narik tangan neneknya sambil terisak. Sontak, tubuh neneknya berguncang keras. Kebaya dan kamben yang dikenakannya terlepas. Gundukan debu mengepul di dalamnya. Mayang tertegun. Debu. Tidak ada neneknya.
" Mayang.." suara neneknya memanggil dari dapur. Ia melirik ke arah pintu dapur. Lalu, menunduk lagi. Debu itu hilang begitu juga dengan keranda dan wanita itu.
" Nik." Mayang pergi ke dapur. Nenek sedang memotong sayuran. Sementara teko air di panaskan di atas tumpukan kayu bakar.
" Ninik, Mayang melihat hantu." kata Mayang sambil duduk di dekat kuali. Nenek terdiam. Ia hanya tersenyum kecil.
" Mayang percaya dengan adanya hantu?" tanya nenek. Mayang mengangguk.
" Mayang tidak takut?",
" Takut, nik."
" Tenang, ada ninik di sini. Pergilah bermain."
Mayang meninggalkan dapur. Ia meraup segenggam tanah dan mengumpulkannya. Sekelompok anak kecil lewat. Mereka tertawa terbahak-bahak sambil mengunyah buah jambu. Namun, ketika mereka melihat Mayang sedang bermain sendiri di pekarangan rumah, tawa mereka mereda. Mereka langsung kocar-kacir. Mayang melambaikan tangan. Ia ingin bermain bersama mereka. Apa daya, mereka terlanjur takut. Pohon pisang di halaman bergoyang. Daunnya bergemerisik. Mayang menepuk tangannya. Di balik daun pisang yang kering, menyembul kepala berambut kekuning-kuningan. Wajah pucat nan sendu. Mayang memperhatikannya. Seorang bocah. Bocah itu tersenyum. Tangannya yang kurus bagai ranting melambai-lambai.
" Ayo, bermain." ajaknya kepada Mayang. Mayang bangun. Bocah itu masih saja melambaikan tangan dengan semangat. Kentara sekali ia ingin bermain dengan Mayang.
" Halo." sapa Mayang. Bocah itu berdiri tepat di antara dedaunan pohon pisang yang sudah kering.
" Ayo, bermain."
" Bermain apa?"
" Petak umpet." ucap bocah itu. Mayang mengangguk kecil.
" Aku yang sembunyi. Kau yang menghitung." bocah itu berkata dengan sangat halus. Namun, Mayang tidak curiga. Ia menutup kedua matanya dengan lengan, lalu menghitung. Bocah itu perlahan mundur dan menghilang. Saat Mayang berhenti menyebutkan angka, ia beranjak dari pohon pisang. Bocah itu sudah bersembunyi. Mayang mencarinya di semak-semak, di belakang rumah dan di jemuran. Tidak ada jejaknya. Ia berkeliling. Sampai akhirnya ia membuka pagar rumah. Ia berjalan menyusuri jalanan. Ia melewati deretan pohon mangga. Belum juga ketemu, gumamnya kesal. Hingga akhirnya ia tiba di kuburan desa. Suasana tampak lengang. Sebuah pohon besar tumbuh di sana. Daunnya rimbun. Bulu kuduk Mayang meremang. Cekikikan anak kecil terdengar sayup-sayup.

KalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang