POPPO (1)

676 30 5
                                    

Bapak menikah lagi. Berita itu merobohkan semangatku untuk melanjutkan kuliah. Kubayangkan kondisi ibu saat ini, lumpuh karena cemburu dan tersiksa. Saudara di kampung menelepon pagi itu saat aku sibuk mengurusi kartu hasil studi di kampus. Semestinya uang kuliah dibayar secepatnya, tapi apa daya uang yang yang seharusnya menjadi penyambung kehidupan kampusku berganti peran menjadi penyokong pagelaran pernikahan bapak dengan istri barunya. Bahtera rumah tangga kedua orangtuaku goyah, sebentar lagi hancur porak poranda diterjang ombak orang ketiga.
Apa yang bapakku bisa tawarkan kepada istri barunya? Keadaan kami biasa-biasa saja. Rumah tua beratap seng, dinding dari papan- papan kayu dan kaca biru kusam sebagai jendela. Selama ini, ibu tidak pernah menuntut macam-macam, jangankan macam-macam, satu macam saja beliau tidak pernah paksakan meminta kepada suaminya sendiri. Sekarang, hadir wanita itu, tidak ada badai tidak ada hujan, tiba-tiba muncul bak air bah.

Kupandangi kertas hasil belajarku di tangan. Angka dan huruf menyatu. Namaku tercetak jelas di pojok kiri atas. Aku menahan napas. Kuremas kertas itu menjadi bola dan melemparnya ke sudut kamar kos. Foto ibu yang tersenyum terselip di dompet, kupandangi. Beliau begitu tegar. Tidak bisa aku jauh lagi darinya.

Kuputuskan aku berhenti kuliah, tanpa pemberitahuan apa-apa di kampus. Kupak barang-barangku dan memacu sepeda motor ke kampung. Ransel menggelembung menggelayut di punggung. Rahangku mengeras, panas mataku ingin menangis, tapi kugertakkan gigi. Hamparan sawah menyambutku, beberapa orang yang kukenal sedang menyiangi padi. Deretan pohon cokelat membuatku semakin rindu pada ibu.

Hari sudah sore ketika aku sampai. Pohon belimbing di halaman meranggas. Suasana rumah tampak sepi. Bohlam lampu yang tersambung oleh kabel terentang melintangi atap rumah. Cahaya memancar dari dapur. Aku memarkir motor.

Ibu, dengan daster kuningnya, rambut berantakan, sedang mengaduk sesuatu di dapur. Keriput menghiasi sudut matanya. Aku melempar ranselku dan memeluknya erat. Ibu mengelus punggung tanganku lembut.

" Sudah makan, dit?" tanya ibu. Beliau mengambil piring dan menyendok cairan yang mengepul di panci. Sup ayam.
" Bu...." aku merangkulnya dan membiarkan ibu menyuapiku. Aku berusaha menelan sup itu, rasanya tidak senikmat ketika bapak ikut-ikutan minta disuapin.

" Habis ini, kamu istirahat, jangan lupa mandi dan sembahyang." pinta ibu.
" Bu, ibu sehat,kan?" tanyaku sembari mendorong sendok dari tangannya. Ibu tersenyum, lalu menunduk menatap piring. Beliau mengangkat tangan kurusnya dan menyeka sudut matanya.
" Sehat kok, dit. Ibu sehat...." tangis ibu langsung pecah. Aku memeluknya erat. Piring yang beliau pegang jatuh dan hancur berkeping-keping. Sup ayam mengotori lantai dapur.

Beberapa meter dari rumahku, berdiri sebuah warung kecil dekat sawah. Warung itu mepet dengan rumah besar di belakangnya. Tidak kusangka, wanita yang sehari-hari berdagang sayuran di kampungku telah merusak rumah tangga orang. Aku tidak mengenalnya dengan baik, hanya mampir untuk membeli sebungkus rokok. Kini, aku jijik berbelanja di sana. Tutup warung terbuka, sosok bapak-bapak menariknya. Bapakku. Pria yang tega menyakiti ibuku.

Beliau tersenyum kepada istri barunya dan membantunya menata sayuran. Aku menghisap rokok dan menghembuskan asapnya. Kuremas puntung rokok itu dan melemparnya kasar ke tanah. Aku mendekati mereka. Bapak melihatku datang dengan amarah membara di wajah.

" Adit...kapan kamu-" belum sempat bapak menyelesaikan omongannya, kepalan tanganku sudah mendarat di pipinya. Bapak tersungkur. Darah menetes dari tepi bibirnya.

" Adit! Tega-teganya kamu mukul bapakmu sendiri!!" jerit ibu tiriku membantu bapakku berdiri. Aku mengayunkan tangan.

" Diam! Mbak Ratih diam!" aku memandang wanita berkulit hitam di hadapanku. Tatapannya seolah-olah menghinaku.

KalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang