ARWAH

588 43 3
                                    

Mayang berlari kencang. Rambutnya mengibas-ibas. Raut mukanya tegang. Kedua lengannya terentang. Baju tidur yang dikenakannya tersingkap ketika kakinya berderap. Ia bernyanyi. Ia menyambut bibi Arum yang berdiri sendirian. Mayang mengencangkan volume suaranya. Seketika bibirnya robek dan melebar. Giginya rontok. Darah kental dan berlendir menetes dari gusinya. Ia siap menerkam bibi Arum. Bibi Arum memejamkan mata dan memegang erat bandul kalungnya.

Bibi Arum membuka mata. Mimpi yang sangat mengerikan. Keringat membanjiri lehernya. Napasnya tersengal-sengal. Ia mencoba bangun. Ia berada di sebuah ruangan yang dipenuhi anak kecil yang sedang tertidur pulas. Galih tertidur di sampingnya. Bibi teringat Mayang. Rasa marah kembali menguasainya. Kakinya mati rasa.
Paman Matun muncul di pintu. Sebuah lampu pijar ada di tangan kanannya. Rambut berubannya tampak basah. Ia menutup pintu.

" Arum." ucap pria tua itu. Ia meletakkan lampu pijar di meja.
" Paman Matun." bibi Arum menggeser badannya dan bangun. Dihampirinya paman Matun. Ia sempoyongan.
" Istirahat saja dulu Arum. Besok kita bicarakan semuanya."
" Paman kemana tadi?" bibi Arum bertanya. Kepalanya pusing. Dicengkramnya pinggiran meja. Ia menghempaskan diri di sofa aus.
" Paman...pergi ke panti asuhan."
Bibi Arum membelalak. Degup jantungnya kembali cepat.
" Apa yang paman lakukan di sana?!"
" Paman mengamati suasana. Paman, melihat....Mayang."
Bibi Arum meraba-raba bandul kalungnya. Bandulnya masih terasa sejuk.
" Apa yang paman lihat?" bibi Arum dengan hati-hati mengajukan pertanyaan. Paman Matun mendesah.
" Arum. Gadis itu-"
" Kenapa?! Ada apa dengan Mayang?!" dalam hati paman Matun mengutuk karena ketidaksabaran wanita itu. Ia menarik napas dan perlahan menghembuskannya bersamaan dengan kata- kata yang keluar dari mulutnya .
" Ia sudah lama mati."
Bibi Arum terpaku. Ia menggeleng. Gadis itu, sudah mati? Lalu, siapa yang ada di panti asuhan? Siapa? Bibi merebahkan diri di punggung sofa. Ia berpikir sejenak. Roman wajahnya yang semula membaik kini kembali pucat. Ia gemetaran. Ditolehnya paman Matun yang juga diam  membisu.
" Bagaimana bisa ia mati?"
" Kau bisa memikirkannya sendiri, Arum. Kau harus ingat dengan cerita yang kau sampaikan sore tadi."
Bibi Arum menggeleng. Ia menimbang-nimbang sejenak. Rasanya, ia tidak mampu memikirkan apapun saat ini. Otaknya buntu.

Ia datang dengan sebuah senyuman tipis. Badan mungilnya tampak rapuh. Tongkat hitam terselip di tangannya. Bibi masih ingat, ketika ia membentak gadis itu karena ia tidak mengeringkan rambutnya yang basah. Air menetes dari rambut panjangnya. Sehelai handuk gundul terlampir di bahunya. Ia tidak senang bergaul dengan yang lain. Ia benci belajar, berdoa ataupun mengobrol dengan anak-anak asuh lainnya. Gadis itu lebih suka hilir mudik sesuka hatinya sendirian di lorong panti asuhan. Ia terlihat ceria, walaupun ia selalu sendirian. Ia tidak membangkang, atau nakal seperti anak-anak panti lainnya yang ketika baru datang langsung berbuat ulah. Itu yang membuat bibi menyukai anak itu, sedikit. Tapi, sikapnya berubah ketika anak-anak yang sekamar dengannya mengadu tentang teriakan-teriakan histeris gadis itu. Mereka bercerita bahwa gadis itu mundur dari pintu dan terjerembab ke ranjang. Wajahnya diliputi ketakutan. Entah kenapa, ia menghalangi wajahnya dengan tangan dan meraup bantal disekitarnya. Matanya melotot marah dan tubuhnya menggigil. Sejak saat itu, semuanya berubah. Panti asuhan menjadi neraka bagi mereka semua.
Bibi mengucek matanya dan berujar pada paman Matun.
" Mungkin Arum perlu istirahat sebentar paman." bibi Arum membaringkan badan di samping Galih. Paman Matun mengangguk dan masuk ke kamarnya.

Nenek pada akhirnya tahu. Mayang senang menyelinap di malam hari ke rumah orang lain. Tapi ia tidak sadar akan perilakunya sendiri dan mendapati dirinya sudah berada di pekarangan rumah tanpa mengetahui apa yang sudah ia perbuat. Ia menangis dan merengek pada nenek.
Mayang mengayunkan tongkat hitam neneknya, untuk membunuh. Ia memuaskan hasratnya dengan menyaksikan orang-orang mati mengenaskan. Ia masih seorang bocah. Mayang tidak tahu persis apa yang ia lakukan. Ia hanya melihat ada orang-orang aneh dan seram yang mengunjunginya di rumah dan ia sontak menyingkirkan mereka, dengan tangannya sendiri.
Nenek sadar, bahwa,jiwa gadis itu,  sudah diambil tepat ketika ia mengunjungi kuburan dan bertemu dengan kawan-kawan barunya. Mayang merasa ia masih hidup.
Nenek menatap cucunya berjalan pelan ke rumah. Gadis itu merasa ia riang gembira dan sekuat manusia. Namun, kenyataannya hanya nenek yang tahu. Energi manusia yang biasa terpancar dari matanya kini meredup. Yang tersisa hanya ruang kosong. Wajahnya seputih pualam. Warna hitam seperti arang membekas di bawah matanya. Bibirnya berwarna ungu. Cekungan di bawah hidungnya lenyap. Kedua kakinya tampak melayang perlahan. Bocah-bocah di belakangnya menari-nari seperti monyet sirkus. Mereka sama pucatnya dengan Mayang. Nenek tidak bisa berbuat banyak. Ia merogoh sebuah kantung dari kain katun dan meraih sesuatu dari sana. Sebuah benda kecil,  dari akar pohon. Ia mendapatkannya dari  orang suci dulu saat mengetahui kehamilan Sekar tidak wajar. Benda itu akan menolong cucunya untuk bersikap layaknya manusia walaupun ia sudah mati. Mayat,  mayat itu akan menjadi seorang manusia lagi,  walau hanya sebentar. Sisanya,  ia berserah kepada tuhan. Nenek mencampur akar itu dengan ubi rebus. Ia menyaksikan ketika gadis itu melahap ubi dan menyeringai pada neneknya. Nenek menangis. Akar itu hanya separuhnya berfungsi. Putranya meninggal, dimangsa oleh cucunya sendiri. Gadis itu sudah dikuasai oleh setan. Ia bukan manusia lagi. Nenek meratapi diri selama beberapa hari. Hingga akhirnya, ia menghembuskan napas terakhirnya.
Bocah-bocah kuburan tahu. Mereka benci Mayang dihidupkan kembali, meskipun tidak sepenuhnya. Mereka menghilang dan kembali bersama seorang kawan, kawan yang lebih kejam. Mereka menyedot jiwa Mayang. Mereka menghilangkan sisa-sisa akar itu dari tubuhnya. Dan, menghadirkan Mayang sebagai mayat yang sebenarnya. Mayat yang sudah dirasuki setan.
Jiwanya terikat di kuburan. Ia terbelenggu oleh pohon kamboja itu. Setan di dalam dirinya telah bangkit. Ia menuntut darah. Ia menyukai kematian.
Mayang tidak pantas bersahabat dengan manusia, karena ia sudah mati. Hantu-hantulah yang pantas menjadi sahabatnya. Kini, ia semakin beringas. Satu per satu, orang-orang di panti asuhan ia bantai. Ia suka menyiksa mereka dengan teror. Yang terakhir, paling menyenangkan. Mariyem, ya bibi Mariyem. Bibi Mariyem berakhir mengenaskan. Tubuhnya digerogoti ketakutan. Mayang menikmati setiap tetes darah perempuan itu. Dagingnya teriris perlahan-lahan sampai menyisakan tulangnya yang kering.
Tapi, membuat ayunan lebih seru. Ayunan yang menyenangkan. Paman Leman pantas menjadi sebuah ayunan, karena ia baik hati. Lalu, ada pria tua itu. Ia datang sendiri di malam hari dan mencari Mayang. Ia mencoba melenyapkannya. Tetapi, ia yang akan lenyap terlebih dahulu.

***
Kala is back!

KalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang