MAYANG

1.4K 87 0
                                    

Mayang terbangun. Ia mendapati dirinya berada di atas ranjang. Peluh menitik di dahinya. Jendela kamarnya masih terbuka. Di luar sudah gelap. Mayang merapatkan selimut dan mengalungi lehernya dengan benda tebal itu. Ia menarik daun jendela. Terdengar suara kaki menapaki lantai rumah. Sangat pelan. Nyaris seperti bisikan. Lampu berwarna oranye gelap menerangi kamar Mayang yang kecil dan, kosong. Kosong, tidak ada apa-apa selain lemari kayu jati tua. Lalu, ada suara ketukan di pintunya. Ninik, pikir Mayang.
" Nik, Mayang tidak lapar." teriak Mayang. Ia hafal betul apa yang akan neneknya lakukan jika wanita tua dan renta itu berdiri malam-malam di depan pintu kamarnya. Namun, tidak ada suara yang menyahut. Mayang menunduk dan mencoba mengintip melalui celah pintu. Ada sepasang kaki terlihat. Kaki yang ditutupi kain batik cokelat bercorak hitam. Ninik, gumam Mayang. Ia menjadi kesal dan membuka pintu secara kasar.
" Ninik! May-" ucapan Mayang terpotong begitu mendapati tidak ada siapa-siapa di depan pintu. Ia tertegun. Lalu, siapa yang mengetuk pintu kamarnya? Mayang menggelengkan kepala. Ia menelusuri lorong rumah yang sempit menuju kamar neneknya. Pintu kamarnya tertutup rapat. Mayang memutar kenop pintu. Neneknya di atas ranjang. Tertidur pulas. Rambutnya yang penuh uban dibiarkan tergerai di atas bantal. Sebagian dari rambutnya menjuntai menyentuh lantai. Tongkat hitamnya bersandar di dinding. Aroma tembakau dan minyak kelapa berbaur di dalam sana. Mayang menghampiri nenek dan menyentuh pundaknya pelan.
"Nik," ucap Mayang. Neneknya membalikkan badan memunggui Mayang. Mayang mengumpat dan mengguncang badan ringkih itu. Tiba-tiba neneknya terbangun. Kedua tangannya yang berbonggol-bonggol menjulur ke arah leher Mayang. Kedua bola matanya yang berwarna abu-abu keruh melotot. Bibirnya menyeringai seram menampakkan deretan gigi berkerak.
"Mayang!" pekik neneknya sambil menguatkan cekikan. Mayang terbata-bata. Kedua tangannya menggelepar mencoba meraih sesuatu untuk dipegang. Kakinya berselonjor di bawah ranjang. Neneknya tertawa keras. Rambutnya menutupi wajah. Ia menengadah. Suara keriutan tulang terdengar. Lehernya memutar. Mayang meringis. Air matanya tumpah. Ia beringsut menjauh. Kemudian, dengan napas tersengal-sengal ia meraih tongkat hitam neneknya. Dengan kuat, ia mengayunkan tongkat itu ke arah wajah neneknya.
" Mati kau!" jeritan Mayang menggema berbarengan dengan hentakkan tongkat itu. Mayang memejamkan mata ketika ujung tongkat menghantam tulang tengkorak neneknya.
Mayang tersentak. Ia tidak ada di kamar neneknya, melainkan di pekarangan rumah. Sendirian. Tongkat neneknya di bawah kakinya. Ia menatap sekeliling. Angin berdesir. Lampu pelita yang digantungkan di depan rumah berayun-ayun. Pintu rumah terbuka, neneknya berdiri di sana. Tampak normal. Rambut panjangnya digelung rapi.
" Mayang....." ucap neneknya. Ada air mata yang menumpuk di ujung matanya. " Mayang.... Duh gusti, kenapa ini terjadi lagi...."
"Nik...." Mayang berlari ke pelukan neneknya. Ia tidak mengerti dengan apa yang barusan terjadi. Nenek mengambil tongkat itu dan menyembunyikan ujungnya. Mayang mencium aroma amis.

KalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang