Malam itu terasa lebih panjang dari malam-malam sebelumnya. Suara jangkrik terdengar sangat keras. Bibi Arum dengan susah payah memanjat pohon mangga di pekarangan. Peluh mulai membasahi punggungnya. Ia mengernyit ketika mencium bau busuk bangkai. Mariyem dan Galih menunggu di bawah. Bibi membuka simpul tali yang mengikat leher Leman dan salah satu anak asuhnya. Jemarinya gemetar. Ia ingin berteriak dan menangis. Mayang menghilang setelah mengucapkan kata-kata yang menyeramkan itu. Bibi terengah-engah. Matanya perih. Kalung itu tidak berpengaruh apa-apa. Ia menyesal. Jika ia tidak pergi ke rumah paman Matun, Leman dan anak asuhnya masih hidup sekarang. Ia berpikir untuk menyalahkan dirinya sendiri, namun, ia menggeleng dan menuntut Mayang sebagai penyebab dari kematian mereka. Bukan hanya dua orang, tapi tiga. Ia tidak tahu harus melaporkan gadis itu kepada siapa. Ia harus membereskannya sendiri. Dua tubuh yang sudah kaku itu jatuh ke tanah dengan suara berdebum. Bibi menunduk dan menangis. Semua penghuni panti berkumpul dekat halaman. Mereka akan tidur di sana sampai pagi datang. Bibi terlalu takut untuk mengajak mereka memasuki ruang utama panti asuhan. Karena, ia khawatir tentang sesuatu yang ada di dalam sana.
Tubuh Leman dibaringkan dan ditutupi menggunakan sehelai kain. Begitu pula gadis kecil itu. Bibi meminta Marieym dan Galih serta pengasuh lainnya untuk menenangkan anak-anak panti. Bibi meletakkan jari telunjuk di bibirnya mengisyaratkan agar mereka diam. Ia sangat letih. Digenggamnya kalung itu dan berdoa. Ia tidak tahu bagaimana caranya menghubungi paman Matun. Ia tidak berani meninggalkan anak-anak panti begitu saja. Kecuali, ia mengajak mereka semua. Mereka harus menyusuri lorong, melewati kamar-kamar yang gelap dan, Mayang. Entah ia ada di mana sekarang bersama teman- temannya. Bibi memikirkan rencana itu. Perasaannya gundah.
Galih bersandar di dinding dan memijat kaki gempalnya berulang kali. Rasa nyeri menjalar di sekujur tubuhnya. Ia bergidik mengingat tadi ketika ia harus membopong dua mayat dari pohon mangga itu. Mual langsung menyergapnya. Berbeda dengan Mariyem yang hanya terdiam. Ia tidak mual, gemetar ataupun marah. Ia hanya takut. Takut Mayang akan membunuhnya seperti Leman dan dua anak asuhnya. Gadis itu, benar-benar keji. Masih diingatnya saat Mayang berdiri di depan pintu ruang tamu, mengenakan baju tidur berwarna putih. Rambutnya digerai. Ia memegang sebuah sisir yang pegangannya berminyak. Ia menunjukkan tatapan memelas, namun Mariyem menangkap seulas senyum di bibir kecilnya. Suaranya lembut. Ia meminta jagung rebus kepada Mariyem. Mariyem mencibir, ia tidak mau memberikan gadis itu jagung rebus, akan tetapi Leman muncul dan bertanya pada gadis itu apa yang ia inginkan. Mayang tersenyum gembira dan menunjuk jagung rebus dengan jari telunjuknya. Leman dengan senang hati mengambilkan gadis itu jagung rebus dan mengajaknya keluar dari ruang tamu. Mariyem mendengar Mayang meminta Leman untuk menyisir rambutnya. Lalu, Leman tidak kembali lagi.Bibi Arum bangun. Ia harus menyelamatkan semua orang. Kalung itu ia genggam erat-erat. Diangkatnya lampu pijar yang cahayanya semakin meredup. Cahaya lampu pijar itu sedikit menerangi lorong. Tampak pintu-pintu kamar yang terbuka lebar. Mereka bisa saja berlari menuju pintu. Bibi Arum tidak tega meninggalkan mayat Leman dan mayat anak asuhnya. Ia berpikir keras. Bibi menyeka matanya.
" Kita harus pergi dari sini sekarang." ucap bibi sambil menatap sekeliling. Raut wajah ngeri timbul di wajah semua orang. Galih mendesah keras dan menggeleng.
" Bagaimana caranya bi? Mayang bisa muncul kapan saja. Gadis itu-"
" Dengarkan bibi." bibi Arum memelankan suaranya.
" Jangan menimbulkan suara. Kita berjalan semua menuju pintu keluar."
" Apa? Itu berarti kita harus melewati lorong bi!" Galih menangkupkan kedua telapak tangannya di wajah dan meringis.
" Kita tidak punya pilihan lain. Bibi tidak mau kita semua berada di sini. Mayang...Mayang akan membunuh kita semua. Satu per satu." bibi Arum menelan ludah gugup.
" Leman dan, anak itu?" Mariyem bertanya, ia tidak menatap bibi.
" Bibi tahu, tapi kita bisa membawa mereka saat kita sudah aman. Kita akan kembali nanti, setelah paman Matun...membereskan Mayang."Semuanya tegang. Mereka mengambil risiko yang sangat berat. Ketakutan telah menguasai mereka. Beberapa anak mengeluh karena lapar dan haus. Ada juga yang menangis dalam diam.
Bibi meminta Mariyem berjalan paling belakang. Semua anak berpegangan tangan. Mereka akan berjalan dalam gelap. Galih menggeruru saat ia harus menggendong seorang bocah yang tertidur. Sekarang, nyeriku semakin menjadi-jadi, umpatnya dalam hati. Bibi memeriksa keadaan. Lalu, ia berjalan paling depan dengan lampu pijar di tangan sejajar dengan dagunya. Kamar-kamar yang pintunya terbuka menampakkan keadaan yang kacau. Seprai dan bantal berserakkan di lantai. Anak-anak tentu berlarian ketika Mayang meneror mereka. Ada selimut yang tercecer di depan pintu. Mungkin, terseret oleh salah satu anak panti asuhan.
Galih memasang tampang sebal. Kedua lengannya harus menahan bobot bocah yang tertidur itu. Napasnya berhembus di tengkuknya Galih. Ia memaksakan kakinya berjalan sepelan mungkin agar tidak menimbulkan suara. Anak-anak lain terlalu takut untuk menoleh ke samping. Tatapan mereka terpaku lurus ke depan. Tangan mereka saling bertautan. Sangat kencang. Kamar demi kamar mereka lewati. Lorong itu terasa sangat panjang. Bibi menjadi cemas. Cahaya lampu pijar itu meredup. Keringat mulai membasahi lehernya. Kakinya berat digerakkan. Bandul kalung itu menempel di dadanya. Memberikan sedikit rasa sejuk di tubuhnya yang panas karena marah.
Mariyem menekan lembut punggung seorang bocah laki-laki yang berjalan lambat. Ia rela berjalan paling belakang. Ia seperti mati rasa. Apa yang ia saksikan dari tadi pagi telah merampas panca inderanya. Segalanya tampak abu-abu. Ia melirik kamar-kamar yang telah ditinggalkan.
Tiba-tiba ia berhenti. Di sebuah kamar, ada sebuah bayangan yang berkelebat. Mariyem memicingkan mata. Seorang anak kecil sedang duduk di tepi ranjang. Bocah laki-laki. Ia menundukkan kepala. Kedua lengannya terlipat rapi di pangkuan, sementara kakinya mengayun pelan. Ia menangis. Sesekali, ia menyeka air mata yang meleleh di pipinya. Mariyem keluar dari barisan, ia memasuki kamar itu. Ia iba. Ia pasti tertinggal tadi, pikirnya. Mariyem mengetuk pintu dan berujar lembut.
" Nak, ayo kemari. Kau pasti tertinggal tadi. Bibi ada di sini. Kau aman." Mariyem tidak mendapatkan sahutan. Bocah itu tetap menangis. Mariyem memberanikan diri mendekati bocah itu. Wajahnya tidak terlihat, karena ia menunduk.
Mariyem berlutut di depannya. Ia meletakkan tangannya di lutut bocah itu dan mencoba membujuknya.
" Nak, kau tidak apa-apa kan? Apa Mayang membuatmu takut? Ayo kita keluar. Bibi ada bersamamu." Mariyem menghusap-usap puncak kepala bocah itu. Bocah itu terdiam. Tangisnya reda. Syukurlah, gumam Mariyem. Namun, suara cekikikan langsung keluar dari mulut bocah itu. Mariyem membeku. Bocah itu terkikik dan menepuk-nepuk tangan Mariyem. Ia dengan sangat perlahan mendongak dan memperlihatkan sebuah wajah yang membuat Mariyem menganga. Kulitnya sangat pucat, tidak ada bola mata, hanya rongga kosong berwarna hitam. Luka robekan memanjang dari tepi mulutnya sampai telinga. Kulit kepalanya mengelupas dan mengeluarkan bau anyir. Tidak ada cekungan di bawah hidung. Giginya tidak beraturan. Bocah itu semakin keras terkikik. Mariyem ingin menjerit, namun tenggorokannya menjadi kering. Seperti ada timbunan pasir yang tersumbat di sana. Ia gemetar hebat. Bocah itu tiba-tiba menghilang tanpa bekas. Menyisakan aroma kemenyan dan tanah kuburan. Mariyem berdiri. Napasnya tertahan. Ia menenangkan diri sebelum keluar. Air matanya merembes. Bibi Arum dan yang lainnya pasti sudah jauh di depan. Ia menjadi sangat takut.
Mariyem membalikkan badan. Ia menabrak seseorang. Kamar itu sangat gelap. Tapi, ada cahaya kemerah-merahan di hadapannya. Mariyem memekik lantang. Rasanya, tenggorokannya akan putus. Mayang. Mayang ada di depannya. Wajah tirusnya berpendar-pendar karena cahaya lilin yang dipegangnya. Matanya tersorot amarah yang meluap-luap. Bibirnya hanya berupa garis tipis. Rambutnya tersisir rapi. Baju tidurnya basah. Basah karena darah. Mariyem tertunduk lemas. Ia mundur. Tangannya meraba-raba lantai. Ia menangis tersedu-sedu. Cairan merah kental menetes di dahinya. Ia tidak berani menatap ke atas. Kemudian, suara nyanyian mengalun pelan di kamar itu. Mayang sedang bersenandung. Itu artinya, ia gembira. Mariyem menekuk lututnya dan memeluk dirinya sendiri. Dadanya berdebar keras. Cahaya merah itu mendekatinya. Dirasakannya tubuh mungil Mayang menempel di kepalanya. Gadis itu terus bernyanyi.Tidur bibi Mariyem, tidur lah bibi...
Mayang ada di sini, bibi sudah aman..Sekarang, tidurlah.....Galih yang paling pertama menyadari bahwa Mariyem menghilang. Ia berteriak kepada bibi Arum dan menghentikan langkahnya. Bibi Arum memandang lorong di belakangnya. Mariyem lenyap. Jantungnya berdegup kencang. Pintu keluar hanya beberapa meter di depannya. Ia semakin gundah. Mayang ada di antara mereka. Gadis itu tahu kalau mereka akan pergi. Rantai kalung yang dikenakannya mencekiknya. Bibi tercekat. Ia lalu menangis dan menjambak rambutnya sendiri.
Bibi Mariyem......
Bibi.....
Bangun bi....
Bi? Oh bibi sudah tidur..
Hihihihi....***
Happy reading luv❤
Dont forget to vote
Thank you for reading my story!!
See you on the next chapter❤❤❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Kala
HorrorMereka datang...Datang untuk membangunkan setan yang ada di dalam diri ini. Darah sudah kucicipi, kini raga ini menuntut lebih. Manusia tolol itu bilang aku bukan seorang gadis, aku cucu seorang penganut ilmu hitam, aku putri seorang pelacur yang b...