NYANYIAN

672 55 0
                                    

Semua pintu belum dibuka. Seharusnya pukul 07.00 sudah siap semuanya. Biasanya asap mengepul dari dapur disusul oleh aroma nasi yang matang dan lauk.

Galih, perempuan tambun dengan kulit langsat, tukang masak panti asuhan tergopoh- gopoh menyusuri lorong. Jemarinya yang gemuk menghentakkan pintu dapur. Namun masih terkunci,  bibi Arum yang membawa kuncinya. Galih mondar-mandir dan mencoba mengingat kamar bibi Arum.

Akan tetapi, kamar bibi Arum ditempati oleh tiga anak panti. Mereka masih tertidur pulas. Galih mengggerutu. Saat kembali ke lorong, ia bertemu dengan pengurus lainnya, Mariyem. Mariyem membenahi baju tidurnya dan mengikuti Galih.

" Kenapa kau terlihat panik sekali Galih?" tanya Mariyem menyelidiki ekspresi Galih.
" Jangan banyak tanya! Kau lihat aku seharusnya jam segini sudah masak!" Galih memang gampang panik dan marah. Maka dari itu, ia ditempatkan di dapur daripada mengasuh anak-anak.
" Bibi Arum yang membawa kuncinya." celetuk Mariyem ketika Galih mencoba lagi untuk membuka pintu dapur dengan kedua tangan gempalnya.
" Aku tahu! Berisik!" Galih lagi-lagi menggerutu, " Kenapa kau tidak bangunkan anak-anak?! Suruh mereka merapikan tempat tidur?!"
" Galih, Galih, pantas saja bibi menaruh kau di dapur,  kau tidak tahu mengurus anak. Sekarang, bahkan kau lupa kalau anak-anak bisa bangun sendiri. Tanpa kau suruh pun, mereka mau merapikan ranjang mereka. Ayo, kita cari bibi Arum,  muak aku melihat kau di pintu itu." Mariyem menarik tangan Galih.

" Bi? Apa kau sudah bangun?" tanya Mariyem sambil mengetuk pintu ruang tamu. Tidak ada sahutan. Mariyem mengetuk lagi.
" Bi, sudah pagi. Galih mau masak bi, dapur belum dibuka."
Galih melenguh tidak sabar. Mariyem mendelik padanya.
" Bi," suara Mariyem kali ini agak membentak.

Galih mendorong tubuh Mariyem, perempuan itu terdesak ke pintu. Pintu terbuka sedikit. Ternyata tidak terkunci. Mariyem mengintip. Lampu kamar tamu tidak menyala. Gelap gulita.

" Bi.." Mariyem masuk. Galih menyusulnya. Ia heran,  bibi biasanya tidur dengan lampu menyala dan, tentu saja dengan pintu dikunci. Ruang tamu tampak sangat gelap. Mariyem menghidupkan lampu. Cahaya kuning pucat membanjiri seluruh ruangan. Namun, ada yang aneh. Pintu lemari terbuka lebar. Piring-piring kaca yang semestinya tersusun rapi kini tergeletak di lantai, pecah. Pecahannya berserakan di lantai. Lalu, sayup-sayup terdengar nyanyian di ruang tamu. Suara anak kecil. Halus,  pelan dan menyayat. Mariyem berjalan pelan memutari ruangan dan mencoba menemukan suara itu. Nyanyian itu berhenti, cekikikan anak kecil menggema di lorong. Ia bergegas ke pintu dan terhenti oleh panggilan Galih.

" Mariyem, Mariyem." Galih mencolek bahu Mariyem.
" Apaan sih?"
Galih mengangkat tangan dan mengarahkan telunjuknya ke sudut ruangan. Mariyem mengikuti arah telunjuk temannya dan matanya terbelalak seketika.

Bibi Arum di sana. Ia memojok di sudut ruangan. Tubuhnya gemetaran. Kedua matanya melotot ketakutan. Giginya bergemeletuk.  Bibirnya membuka dan tiada henti menyebutkan sebuah nama.

" Mayang! Mayang!"

Mendengar nama itu,  membuat Galih dan Mariyem saling menatap ngeri. Mereka sadar, bahwa gadis itu memang sangat tidak biasa.

Mariyem memeluk bibi dan menenangkannya. Tangan bibi menggenggam serenceng kunci panti asuhan. Ia menangis dan membenamkan wajahnya di bahu Mariyem. Lagi-lagi Mariyem menangkap alunan lagu tadi.

Sehabis diobati oleh seorang tabib desa, bibi menjadi lebih tenang. Wajahnya yang tirus tampak lebih cekung. Ia menyesap teh dan memejamkan mata. Galih menemaninya di dapur. Bibi berdiri dan mengawasi anak-anak melalui jendela dapur. Anak-anak asuhnya sedang bermain di halaman. Tentu saja, Mayang tidak bergabung, tidak akan pernah bergabung.

" Bi, apa kau tidak mau bercerita soal apa yang kau lihat kemarin?" tanya Galih. Ia berhenti mengaduk sayur di panci dan meletakkan sendok. Bibi menggeleng.

" Belum saatnya." bibi menyesap tehnya lagi.
" Kau mengucapkan nama gadis itu berulang kali tadi pagi."
" Bibi tahu. Memang,  gadis itu bukan gadis biasa. Tapi bukan berarti bibi harus menceritakannya semuanya pada kau Galih."
" Semua orang tidak kau kasih tahu bi." Galih memutar bola matanya dan kembali mengaduk sayur.

Bibi masih merasakan kehadiran gadis itu di sampingnya. Caranya menyeringai dan suaranya yang halus. Ia tidak usah repot-repot mencari gadis itu ke kamarnya. Toh, ia bakalan keluar sendiri.

Tawa anak-anak di luar berhenti. Para pengurus langsung merangkul mereka. Anak-anak yang duduk dekat lorong berlarian ke halaman. Bibi mendesah khawatir. Ia tahu apa yang sedang berjalan di lorong.

Mayang bernyanyi kecil. Jemari kurusnya menyisir rambutnya. Tongkat neneknya terselip di ketiak. Wajahnya tetap sama, pucat. Ia mengenakan baju tidur berwarna putih dengan noda kekuningan. Ia berhenti tepat di tengah-tengah lorong. Ia menoleh ke halaman dan melambaikan tangan pada anak-anak panti. Ia tertawa kecil dan melompat-lompat. Anak-anak memekik ketakutan. Suasana langsung riuh. Pengurus panti kerepotan untuk mengejar anak-anak yang berlarian kesana kemari. Mayang semakin gembira, ia melambungkan tubuhnya dan bertepuk tangan. Rambutnya dikibaskan dengan liar sementara mulutnya membentuk seringai aneh yang diikuti rentetan tawa. Giginya terlihat, lengkap dengan gusi yang berwarna hitam keunguan.

****Thank you for reading! Don't forget to vote!❤❤Maaf ya segitu saja dulu 😘😘😘 belum ada ide

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

****
Thank you for reading! Don't forget to vote!❤❤
Maaf ya segitu saja dulu 😘😘😘 belum ada ide.
Maaf tokoh-tokoh di panti asuhan baru disebutkan di chapter ini!
Oh ya, dont forget to leave your comment yah! Who knows ada yg berpengalaman di bidang horror.

Have a nice day!

KalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang