KAMBOJA

1.2K 66 0
                                    

Suara cekikikan itu berangsur-angsur mengecil. Mayang bingung. Bocah berambut kuning itu belum juga ketemu. Suasana lengang di kuburan membuat perasannya campur aduk.
" Mayang...." suara memanggil. Mayang menoleh. Tawa kecil kembali terdengar dari balik nisan kuburan. Kelebatan anak kecil terlihat. Bukan hanya satu. Mereka ada banyak. Mayang berjalan menuju salah satu kuburan dengan nisan sudah bobrok. Seorang bocah duduk menutupi wajahnya. Namun, itu bukan bocah yang mengajaknya bermain petak umpet . Bocah itu berambut hitam seperti eboni. Kulitnya sepucat perkamen. Ada guratan tipis berwarna biru di lehernya. Ia terisak.
" Halo.."
" Hihihi..." tiba-tiba bocah itu terkikik dan mendongak. Di tempat seharusnya bola mata bersarang hanya terdapat ruang kosong hitam. Mayang mundur. Kakinya menginjak ranting kering. Kemudian, bocah-bocah lain muncul di setiap nisan kuburan. Mereka menatap Mayang tajam. Mayang terengah-engah. Ia berteriak sementara bocah-bocah itu merangkak mendekatinya.

Mayang membuka mata. Ia berada di bawah pohon kamboja. Bunganya yang besar dan berkelopak lebar bergerombol di antara dedaunan. Hari sudah sore. Suara jangkrik memenuhi kuburan.

" Pak, itu apa pak?" seorang wanita paruh baya menarik-narik baju suaminya ketika melewati kuburan. Wanita itu menunjuk Mayang yang hanya diam di bawah pohon kamboja. Wajahnya putih karena letih. Rambutnya semrautan.
" Itu..." suaminya tertegun. Ia mengarahkan senter yang dibawanya ke arah Mayang. Sebelum pria itu mengucapkan sesuatu, istrinya sudah berlari pontang panting menjauh dari jalanan di dekat kuburan. Suaminya balas mengejarnya. Mayang menyeka dahinya. Kepalanya berdenyut. Mayang tidak sadar ketika ia berjalan, beberapa bocah dengan seringai aneh mengikuti langkahnya. Mereka meloncat-loncat kegirangan. Ada yang bergelayut di lengan Mayang, sedangkan sisanya menghimpitkan diri di punggung gadis itu.

Nenek menunggu Mayang di depan rumah. Matanya terlihat awas. Tongkat hitam nya seperti biasa dipegang erat.

" Siapa mereka Mayang?" tanya nenek. Bocah-bocah itu masih saja bergelayut di lengan Mayang. Mayang menggeleng heran.
" Mereka? Mereka siapa nik?" Mayang mencoba memicingkan mata. Pandangannya kabur. Sehingga,ia tidak dapat melihat kawan-kawan barunya.
" Masuk Mayang." tegur neneknya. Neneknya sebenarnya merasakan ketakutan yang mendalam. Ia khawatir kehadiran bocah-bocah itu akan semakin membahayakan keberadaan Mayang. Mayang masuk ke rumah. Ia segera melepas bajunya yang sudah lusuh karena menerobos semak-semak. Ia mandi. Bocah-bocah itu menunggunya di depan pintu kamar mandi. Saat Mayang mengelap embun di sebuah kaca kecil yang ditempel di dinding kamar mandi berbau lumut, ia nyaris terjatuh. Ia bisa melihat sekumpulan bocah dengan wajah tirus dan rongga mata kosong menantinya di depan pintu kamar mandi. Mereka menyeringai.

" Kini Mayang tidak kesepian lagi." ucap salah seorang dari mereka sambil menelengkan kepalanya.
" Mayang... Kami akan menjadi sahabatmu."
" Kikikiki, Mayang oh Mayang."
Mayang meraih handuk dan melilitkan tubuh mungilnya. Ia tidak berani keluar dari kamar mandi. Bocah-bocah itu tidak hanya berdiri di sana namun juga bergelantungan dengan kepala terbalik. Bau amis menyeruak. Tidak ada aroma kemenyan, hanya bau tanah kuburan dan darah basi. Mereka tidak punya cekungan si bawah hidung. Kaki mereka mengambang. Yang Mayang dapat pikirkan hanyalah bagaimana caranya ia akan membiasakan diri bersama mereka.

Setelah insiden petak umpet dua hari lalu, Mayang lebih memilih menyendiri. Karena, ia memang selalu sendiri. Ia tidak tahu, kenapa hanya ada nenek di rumah sebesar itu. Nenek bilang kalau orangtuanya pergi. Pergi ke mana? Entahlah. Mayang menggali lubang kecil di pekarangan rumah. Bocah-bocah kuburan, kawan barunya sedang terkikik pelan sambil melompat-lompat. Sesekali mereka menarik-narik rambut kusut Mayang. Ia selalu menunduk setiap ia harus berhadapan dengan wajah mereka. Ia benci dengan rongga mata itu. Gelap dan seperti tidak berdasar. Pernah sekali setelah mereka mau menyingkir ketika Mayang keluar dari kamar mandi, ia bertanya kenapa mereka mati. Mereka malah memekik nyaring. Mulut mereka melebar dan merobek pipi mereka. Mayang semakin takut untuk mengajak mereka berbicara.

KalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang