KENDI

539 54 11
                                    

Paman Matun mengumandangkan doa, lalu memercikkan air suci ke penjuru arah. Pria itu melangkah sigap mengelilingi bagian luar panti asuhan. Ia sendirian. Kepala desa tidak kembali sampai matahari sudah bersinar begitu terik. Kini, ia menyiapkan diri untuk menghadapi apapun yang akan terjadi di dalam sana. Paman Matun menyeka tangannya dan mendekap kendi seukuran kepalan tangan dari tanah liat di dadanya. Ia membuka pagar secara perlahan, lalu menutupnya .Bibi arum bersikeras untuk ikut ketika paman Matun mengatakan bahwa ia akan menemui Mayang. Pria tua itu menolak dan bersikukuh agar bibi tinggal di rumahnya sampai ia kembali.
Matahari sudah hampir tenggelam, menyisakan goresan oranye di langit. Bercak darah yang sudah kering tampak di depan pintu panti asuhan. Sepasang sendal bertali hijau tergeletak sembarangan. Paman Matun mengambil sendal itu dan menaruhnya dengan rapi di depan pintu. Ia sendiri melepaskan sendalnya. Pintu panti asuhan tertutup rapat. Permukaannya penuh akan bekas cakaran. Sesaat pintu itu dibuka, bau amis menyeruak. Gelap total, tidak ada cahaya. Angin mendesau. Paman Matun merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebatang lilin. Ia menyalakannya. Di ujung lorong, timbul sebuah bayangan. Bayangan anak kecil. Paman Matun menjulurkan lilin itu, ia melangkah menuju anak kecil di ujung lorong. Langkahnya mantap. Sorot matanya tidak menyiratkan ketakutan. Rasa penasaran dan amarah menguasainya, namun ia mampu mengendalikannya. Paman Matun berhenti sejenak di depan kamar-kamar dengan pintu terbuka lebar. Pria itu menutupnya satu per satu dengan satu tangan. Ia terus melakukannya sampai ia sudah berada beberapa meter dari anak kecil itu. Sekarang, ia bisa mengamati sosok itu. Rambutnya panjang dan tergerai di bahu kecilnya. Pipinya tirus. Warna hitam menghiasi kantung matanya. Matanya menatap paman Matun dingin. Baju tidur putih membalut tubuhnya yang tidak kalah kurus. Paman Matun tersenyum. Ia memosisikan lilinnya di bawah dagunya. Jemarinya terulur.

" Mayang..." ucap paman Matun tenang. Anak itu tetap diam. Bibirnya mengatup.

" Siapa kau?" tanya Mayang, suaranya benar-benar halus. Persis seperti suara nyanyian yang paman Matun dengar ketika ia mengamati gadis itu dari kejauhan. Mayang memindahkan kedua tangannya yang semula di punggung ke depan dan melipatnya.

" Saya Matun." paman Matun menarik tangannya. Ia tersenyum lagi. Kali ini, ia bisa melihat tongkat hitam yang dibawa gadis itu.

" Apa yang kau mau?" Mayang mengelus-elus tongkat neneknya. Urat-urat berwarna biru mulai merambati lehernya. Gadis itu mengalihkan pandangannya ke samping. Ia menyeringai kecil.

" Paman ingin berbincang-bincang sebentar, tentang nenek-"

" Ninik!" teriak Mayang keras. Rambutnya seketika melayang. Ia membuka mulutnya dan meraih tongkat neneknya. Ia hendak mengayunkan tongkat itu ke kepala paman Matun, namun paman Matun segera mengeluarkan kendi berisi air suci dan memerciki wajah Mayang. Gadis itu menjerit. Ia menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangannya dan mundur. Mayang terus menjerit marah dan menghilang. Paman matun menyimpan kendinya dan mengejar gadis itu. Dilihatnya ujung baju tidur gadis itu di balik sebuah pintu kamar tidur. Ia bergegas.
Paman mendorong pintu kamar secara kasar. Ia membeku. Mayat manusia dibebat dengan seprai putih digantung di langit-langit kamar. Kepalanya di bawah. Darah hitam menetes ke lantai. Mayat yang terlihat seperti kepompong itu berayun pelan, menimbulkan bayangan di dinding. Paman Matun menggertakkan gigi. Gadis jahanam, gumamnya marah. Ia mengeratkan kalung dengan bandul berisi jimat di lehernya. Paman Matun juga menggumamkan mantram ke cincin-cincin di jemarinya. Mayat itu berbau busuk. Paman Matun menaiki kursi plastik yang ada di sana. Ia menurunkan mayat itu dan merebahkannya di lantai. Disibakkannya kain  mayat itu dan mendapati ekspresi ngeri tercetak jelas di wajahnya. Kepala desa. Pria itu berakhir mengenaskan. Belatung-belatung gemuk menggeliat di setiap lubang di wajahnya yang sudah rusak. Paman Matun menutup mata kepala desa. Ia mendongak.
Seorang gadis berdiri di pintu. Tubuhnya menghadap ke paman Matun, tetapi kepalanya tidak. Lalu, kepala itu berputar sangat pelan menampakkan wajah Mayang. Gadis itu menyeringai. Ia meletakkan masing-masing jari telunjuknya di sudut bibir dan menariknya ke atas. Tarikkan itu menyisakan goresan lebar. Ia merobek bibirnya sampai ke telinga. Darah menetes membasahi lehernya. Bola mata Mayang menjadi keruh. Gadis itu bernyanyi dengan bibir robek. Ketika paman Marun bangun, ia terdiam, kemudian berlari. Mayat kepala desa bergerak. Kepalanya mengangguk-angguk cepat. Darah merembes semakin deras ke lantai. Tangan kurus hitam merobek kain yang membungkus tubuhnya. Kepalanya menjulur bebas. Daging kecil-kecil berhamburan. Kepala desa menatap paman Matun. Kain itu terlepas sampai di pinggangnya. Lubang hitam menganga di dadanya. Ia memutar dan menyeret tubuhnya menuju paman Matun. Paman Matun mundur. Ia menyiapkkan kendi.
Dengan cepat, ia memerciki kepala desa dengan air suci. Mayat kepala desa melolong. Kepalanya menghentak-hentak. Paman Matun berlari ke pintu. Mayat kepala desa mengejarnya. Tubuh hancur yang dibalut kain itu terseret-seret di lantai. Darah berceceran.
Paman Matun sampai di deretan pohon pisang di halaman belakang. Pohon mangga dengan dahannya yang kuat tumbuh di sana. Paman bersandar di sana. Ia harus berpikir keras agar bisa memancing Mayang keluar dan menunjukkan dirinya lagi. Tanpa sengaja, paman menunduk dan melihat bayangan di tanah. Dua tubuh manusia berayun-ayun, penuh irama. Tali panjang menjerat leher mereka. Tangan mereka juga mengayun. Paman Matun mendongak. Tidak ada apa-apa di dahan pohon mangga itu. Namun, ketika ia kembali menunduk, kedua bayangan itu menggeliat. Kepala mereka menggeleng-geleng. Kemudian, tangan mereka meraba-raba tali yang menjerat leher mereka dan melepaskannya. Paman Matun membelalak ngeri. Tubuh-tubuh itu memanjat dahan pohon mangga. Mereka menghampiri paman Matun.
Paman Matun menjauh. Bocah- bocah tanpa mata sedang bertengger di dahan pohon mangga tersebut. Mereka tersenyum kepada paman Matun. Mereka menuruni batang pohon mangga dan merayap di tanah. Kulit mereka yang pucat tampak lembek seperti bubur. Tulang-tulang kering menonjol di sekujur tubuh mereka yang kecil.
Paman meletakkan lilin di tanah. Apabila ia bisa mengusik bocah-bocah itu, Mayang akan muncul. Ia bersiap. Tepat saat salah satu bocah meloncat ke arahnya, pria itu meraup lehernya dan mengabaikan lidah bocah itu yang menjulur keluar. Gerakannya liar dan air liur berhamburan di wajahnya. Paman Matun memejamkan mata. Jeritan bocah itu seperti menghancurkan gendang telinganya. Paman Matun membenamkan tangannya ke kendi air suci dan mengusap wajah bocah itu keras-keras. Bocah itu melolong kesakitan. Asap langsung mendesis. Bocah itu menggelepar. Paman Matun mengambil lilinnya dan menyulut bocah itu dengan api. Tubuhnya seketika terbakar. Bocah- bocah kuburan lainnya ikut memekik dan merobek mulut mereka. Mereka marah. Paman Matun menggunakan sisa air sucinya untuk menyiram bocah- bocah itu.
Ia melemparkan lilin dan menyaksikan mereka terbakar. Akan tetapi, sebuah tangan berbulu kasar meraup paman Matun. Tangan itu mencekiknya. Sepasang mata merah menyala melotot padanya. Bau busum bangkai menerpanya. Sosok hitam besar itu menindihnya. Paman Matun tidak bisa bergerak. Napasnya hampir habis. Air sucinya sudah habis dan lilinnya padam. Dengan sisa-sisa tenaga yang ia punya, paman Matun merapalkan mantra. Ia berkomat kamit tanpa henti. Sosok hitam itu tidak melepaskan cekikannya. Paman Matun menghujamkan ujung cincinnya ke punggung berbulu sosok itu. Ia merasakan cengkraman sosok itu mengendur. Ia tergeletak sendirian di tanah dengan keringat bercucuran. Dadanya panas. Mereka telah sirna. Tinggal Mayang. Gadis itu yang tersisa.

***
Silahkan di vote setelah baca, dont be a silent reader, thank you❤

KalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang