SS-19

912 75 4
                                    

Hari demi hari terlewatkan. Ini sudah bulan ke-3 semenjak kecelakaan itu terjadi. Pagi ini, wajah Azra terlihat lesu saat berjalan masuk ke dalam kantin seperti hari-hari sebelumnya selama sebulan ini. Gairah tak semangat terpancarkan dari diri Azra. Sena yang daritadi memerhatikannya pun bisa merasakan itu.

Satu hal yang kurang dari Azra, yaitu Shenna. Karena biasanya, Azra akan berjalan bersama Shenna ke dalam kantin. Ini juga sudah sebulan Azra tak bersama dengan Shenna lagi. Ingin rasanya Sena bertanya, tapi gengsinya terlalu kuat. Apalagi, saat itu, ia memarahi Azra habis-habisan. Jadi, tak mungkin ia bertanya pada Azra.

Dion? Dion saat itu juga terciprat omelan Sena, dan Sena merasa tak enak dengan Dion. Mau ditaroh mana muka Sena kalau ia bertanya pada kedua manusia itu?

Pada akhirnya, Sena hanya bisa menghela nafasnya. Tak ada lagi yang bisa ia lakukan sekarang.

"Sena, ih!" Keluh perempuan di sebelahnya. "Daritadi aku itu ngomong, kamu dengerin aku gak sih?" Ambeknya.

Sena menoleh, "Dengerin kok. Guru Pkn lo nyebelin kan?"

Riana mengangguk semangat. Ternyata, walaupun mata Sena berlari ke sana dan ke mari, tetapi telinganya tetap mendengar apa Riana ocehkan daritadi.

"Iya, nyebelin banget gitu loh Sen!"

Riana sedaritadi tetap mengoceh. Jujur saja, Sena bosan. Tapi anehnya, jika yang mengoceh adalah Shenna, ia tak akan pernah bosan. Bahkan, Sena akan ikut menimpali apa yang Shenna katakan. Seperti contohnya waktu itu, saat Shenna curhat tentang nilai Bahasa Inggrisnya yang jeblok karena gurunya menyebalkan. Gurunya salah menilai tapi ia tak mau membetulkannya.

"Kalau di kelas kamu, dia gimana Sen?" Tanya Riana.

"Dia manis," ceplos Sena asal.

"Hah? Siapa yang manis?"

Sena mengedipkan matanya berkali-kali, lalu menoleh ke arah Riana, "Nggak, bukan siapa-siapa."

Ternyata, Sena sedang memikirkan Shenna saat Riana daritadi mengoceh hal yang tak jelas apa itu. Entah, Sena sedang rindu dengan perempuan itu. Perempuan yang berhasil membuatnya jatuh cinta yang sejatuh-jatuhnya, yang pastinya berbeda dari Riana.

Yah, lagi-lagi, pikiran Sena berlari lagi ke saat ia pertama kali menelfon Shenna. Waktu Shenna marah-marah dan jutek setengah mampus. Tapi yang pada akhirnya bisa Sena luluhkan juga saat itu.

Tanpa mendengarkan Riana berbicara, Sena tiba-tiba tersenyum. Tersenyum karena mengingat betapa polos mimik muka Shenna dulu saat tau ialah yang menelponnya selama 30 hari berturut-turut itu.

Ah, kalau diingat, Sena tambah rindu dibuatnya. Ingin rasanya bertemu lagi dan membicarakan banyak hal dengan Shenna lagi, seperti saat-saat pertama pacaran dulu.

Saat Sena mengedarkan pandangannya karena bosan, mata Sena tiba-tiba menangkap Azra yang berjalan ke arahnya. Oh, lebih tepatnya, ke bangku yang berada di belakang Sena.

Hati dan fikirannya lagi-lagi berperang, haruskah ia bertanya pada Azra tentang Shenna, atau tidak. Sena ingin sekali tau kabar Shenna, tapi Sena malu untuk menanyakan hal itu pada Azra.

Pada akhirnya, Sena tetap menahan tangan Azra saat Azra hendak melewati Sena. "Zra, apa kabar?" Sena tersenyum sambil berdiri.

Azra menatap Sena, "Baik. Lo?"

Kedua alis Sena naik dan ia menjawab, "Udah baikan juga."

"Bagus deh," kata Azra.

"Em, iya, bagus. Ngomong-ngomong, lo makan sama siapa?"

"Dion," jawab Azra singkat.

Ayo, Sen, tanya tentang Shenna. Kubur dalem-dalem rasa gengsi lo. Batin Azra.

"Oh, yaudah, gue lanjut makan lagi aja deh. Selamat makan ya, Zra," kata Sena, lalu ia mendudukkan dirinya lagi.

Azra hanya menghela nafasnya. Ia pun melanjutkan langkahnya menuju Dion yang sudah menunggunya lebih dari 5 menit itu.

"Gimana, Zra? Sena udah nanyain Shenna?" Tanya Dion saat Azra sudah mendekat.

"Belom. Gengsinya gede banget," balas Azra sembari meletakkan makanan dan minuman yang ia beli tadi ke atas meja di hadapannya.

"Kita harus ngikutin maunya Shenna banget apa?" Tanya Dion gemas.

"Mau gimanapun, kita harus ikutin maunya, Yon," balas Azra dengan suara lembut dan pelannya.

***

Daritadi, ia mencoba memejamkan matanya untuk sekedar tidur sore. Karena hanya dari tidur sore inilah ia bisa melupakan sejenak tentang Shenna. Hanya dari tidur sore inilah yang mana menjadi obat sementaranya untuk melupakan semuanya sejenak.

Tapi sayang, kali ini, Sena selalu gagal saat mencoba untuk memejamkan matanya berkali-kali. Selalu gagal. Membuat ia jadi tak nyaman. Membuat Sena jadi gelisah sendiri.

"Kenapa sih! Biasanya juga tinggal merem, terus tidur," keluhnya pada dirinya sendiri.

Ia pun bangun dari posisi tidurnya, lalu mengusap wajahnya agak kasar. Ia benar-benar gelisah sampai tak bisa tidur. Lalu, apa yang harus ia lakukan?

Biasanya, ada Shenna yang bisa ia telfon. Sekarang? Ingin menelfon saja rasanya gengsi naudzubillah. Ingin rasanya merobohkan dinding gengsinya lagi, seperti dulu. Seperti saat ia harus bertemu dengan Shenna bertatapan empat mata untuk yang pertama kalinya.

"Lagian jadi cowok kok gengsi gede banget sih, Sen, Sen," ejeknya pada dirinya sendiri. "Udah, telfon aja lagi. Anggep aja ini pertama kali lo nelfon dia."

Sena pun mengambil ponselnya yang berada di sebelah bantal tidurnya. Setelahnya, ia mencoba untuk menelfon kekasihnya itu.

Bingung, adalah kata yang tepat untuk Sena saat itu. Apakah Shenna benar-benar tak ingin dihubungi Sena? Sampai-sampai, Sena telfon pun tidak diangkat Shenna?

Apa ada masalah lain yang Sena tak tau sampai harus membuat Shenna tak mengangkat telfon Sena? Apakah ada?

Sena tak mau menyerah, ia tetap menelfon Shenna lagi dan lagi. Tetapi, keberuntungan sedang tidak berada di pihaknya. Daritadi hanya nada sambung yang terdengar, bukan suara Shenna. Suara yang ia rindukan itu. Bukan.

Merasa harus mendengar suara Shenna, ia langsung bersiap-siap, untuk ke rumah Shenna.

Ia langsung memakai jaketnya yang baru saja ia ambil dari gantungan baju di balik pintunya. Dan juga, ia sudah memakai celana jeans hitamnya.

Saat Sena hendak keluar dari pintu rumahnya, Sella memberhentikannya. "Mas, mau kemana sih?" Tanyanya.

"Ke rumah Shenna, kamu mau ikut?"

Sella diam, lalu menjawab dengan suara pelan, "Nggak deh, Mas. Mas aja. Hati-hati ya, Mas."

Sena tersenyum manis, "Oke, Sel. Mas pergi ya."

Sena melanjutkan langkahnya menuju garasi untuk mengendarai motornya tersebut ke rumah Shenna.

Tak perlu waktu lama, dalam kurun waktu hampir 15 menit, Sena sudah sampai di depan pintu rumah Shenna.

Sena hanya perlu mengetuk pintu di hadapannya, lalu keluarlah seseorang untuk membukakannya pintu. Tapi gengsi Sena masih besar. Apa yang harus Sena ucapkan bila Shenna lah yang membuka pintu ini? Apa coba?

Sena menggelengkan kepalanya berkali-kali, membuang rasa gengsinya jauh-jauh. Sena akhirnya mengetuk pintu di hadapannya.

5 detik kemudian, seseorang membukakan pintu itu untuk Sena. Senyum Sena mengembang saat melihat orang itu.

"Tante, Shenna-nya ada?" Tanya Sena sangat sopan.

Bibir mama Shenna malah naik, air mata mulai menggumpal di penghujung matanya. Tanpa tau sebabnya, tiba-tiba mama Shenna memeluk Sena. Sena hanya terkejut, matanya pun melebar.

"Shenna udah gak ada, Sen."

Deg.

Satu bulir air mata menetes dari pelupuk mata Sena.

Odd Yet RealTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang