Derup langkahku terdengar sangat jelas di telingaku sore ini. Penduduk di Jakarta, entah mengapa saat ini terasa sedikit. Malah, aku merasa, dunia ini seperti tak ada penghuninya. Dunia terasa sepi semenjak saat itu. Saat aku tau, dia pergi.
Semua tak lagi sama. Benar-benar terasa beda, semenjak dia pergi setelah aku menyakitinya. Yah, aku menyakitinya.
Aku menundukkan kepalaku, menyembunyikan sepasang mataku dari orang yang sedang berlalu lalang di depan gedung SMA yang pernah aku tempati untuk belajar wajib selama 3 tahun. Dan gedung ini pula, menjadi saksi antara aku dan Shenna. Kekasihku...ya, kekasihku.
Seketika aku berhenti saat aku merasa aku sudah berada di depan gerbang SMA ini. Aku memerhatikan gerbang tersebut dengan seksama.
Secara otomatis, otakku memutar ke masa-masa dulu. Masa di mana aku dan Shenna masih bersama, menikmati indahnya rasanya perut berbunga-bunga dan penuh kupu-kupu.
Memori itu tiba-tiba terputar sendiri. Aku melihat diriku yang semasa SMA dengan Shenna sedang naik di atas motorku untuk kuantar pulang. Dan seperti biasa, Shenna memegang kedua sisi tasku agar ia tak jatuh.
Haha.
Aku baru saja meneteskan air mataku. Betapa cengengnya seorang Senario Al-Karim ini.
Aku melanjutkan langkahku, masuk ke dalam gedung itu. Di sana masih ada beberapa siswa dan siswi yang masih sibuk. Mungkin osis dan semacamnya?
Ntahlah.
Aku pun tak menghiraukan mereka.
Aku memerhatikan gedung ini. Gedung yang 2 tahun lalu baru saja kutinggal. Dan gedung yang selalu membuat aku dan Shenna bersama.
Aku terus memerhatikan, hingga akhirnya, satu hal yang menarik perhatianku.
Sepasang kekasih yang sedang bercanda di spot-ku dulu dengan Shenna.
Lagi-lagi, secara tiba-tiba, aku melihat diriku semasa SMA bersama Shenna sedang bercanda bersama.
Aku memerhatikannya dengan seksama, sekaligus untuk memperkuat ingatanku tentang Shenna yang kian lama kian menghilang dan terhapus.
Tuhan, aku sangat rindu gadis itu.
Gadis yang sukses membuat tembok gengsiku runtuh dan roboh, walau sudah susah payah kubangun.
Aku menggelengkan kepalaku sembari menyeka air mataku. Aku melanjutkan langkahku. Kini, kelas di mana Shenna dilabraklah adalah tujuanku.
Saat sampai di depan kelas itu, aku berhenti dan memerhatikan spot di mana Shenna dilabrak dan didorong.
Tuhan, andai saja saat itu aku datang tepat waktu. Shenna tidak akan mungkin mengalami penyakit menyebalkan itu.
Lagi dan lagi dan lagi, aku melihat diriku semasa SMA yang sedang membentak Velly untuk pergi dan mulai khawatir dengan Shenna.
Aku melihat jelas mimik muka Shenna yang ketakutan itu. Mimik muka yang saat ini dan seterusnya tidak akan bisa kulihat lagi.
Ingin rasanya aku lari ke spot itu, dan memeluk Shenna seperti SMA dulu.
Aku menunduk dan mengangkat kedua tanganku. Aku memerhatikan kedua tanganku. Dan yap, kedua tanganku gemetaran seiring dengan mataku yang semakin panas dan tak sabaran ingin meneteskan sebulir cairan bening.
Kedua benda yang sedang kuamati, adalah apa yang memeluknya kala itu. Dan kini, kedua benda ini, tak bisa lagi merasakan rasanya memeluk gadis mungil itu. Gadis korban bully yang rasanya ingin selalu aku lindungi.
Aku menghela nafasku.
Mataku semakin lama semakin panas.
Aku menyender ke balkon, lalu tubuhku terjatuh. Aku menundukkan kepalaku sembari meneteskan air mata yang sedaritadi sudah tertahan.
"Shen.... andai semuanya bisa diulang... aku gak akan nyalahin kamu. Aku gak akan ninggalin kamu. Aku... aku akan selalu sama kamu. Bukan Riana. Bukan."
"Tapi, semua udah terlambat Shen..."
"Waktu terus berjalan, Shen. Dan seiringnya waktu berjalan, waktu terus menyiksa aku. Kenapa? Karena selama waktu itu berjalan, aku gak bisa lagi meluk kamu, bahkan melihat wajah kamu aja gak bisa..."
"Maafin aku, Shen...."
"Maaf..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Odd Yet Real
Teen FictionSemua memang aneh, tapi ini semua nyata, bukan ilusi. Copyright © March 2017 by Bilbile