12

4.9K 644 85
                                    

D-3


01.30 P.M


Jennie melirik sekilas beberapa pengawal suruhan Kim Jongwoon yang mengawasinya dari luar restoran.  Kakeknya berkata bahwa ia khawatir dengan Jennie yang tampak pucat dan memintanya—lebih tepatnya menyuruh—untuk makan siang sebelum kembali ke kantor, dan juga ia menyuruh cucu angkatnya untuk memastikan hal itu dengan menemaninya makan siang.

Tatapannya kini beralih kepada Jisoo yang sedang menikmati makan siangnya. Jennie tidak habis pikir, kakeknya begitu mempercayai gadis itu. Mengapa semua orang seolah berpihak pada gadis yatim piatu ini. Bahkan pria yang dicintainya pun lebih memilih Jisoo ketimbang dirinya. Sejujurnya Jennie sangat iri dengannya.

“Tidak bisakah kau berhenti menatapku dan segera memakan makananmu?” tanya Jisoo yang mulai risih dengan pandangan Jennie.

“Kau pikir aku sudi makan satu meja denganmu?” ujar Jennie dengan dingin. “Ahh. Kau pasti sekarang dalam keadaan paling bahagia karena semua orang seolah berada dipihakmu bahkan kakekku sendiri terlebih sebentar lagi ‘dia’ akan menjadi milikmu seutuhnya.”

“Maksudmu Taeyong? Dia memang selalu menjadi milikku. Kau saja yang selama ini berhalusinasi bahwa dia milikmu nona Kim,” sahut Jisoo dengan senyum simpul. “Dan memiliki Harabeoji sebagai kakek angkatku, aku sangat bersyukur untuk itu. Beliau adalah orang yang sangat baik kepadaku selama ini.”

Genggaman Jennie mengeras saat mendengar pernyataan Jisoo. Jika ia tidak ingat bahwa ini adalah tempat umum mungkin ia akan mencakar habis-habisan gadis ini.

Tapi di lain sisi ucapannya tidaklah salah. Selama ini  memang Jennie yang selalu memiliki keyakinan bahwa Taeyong menyukainya. Imajinasinya mungkin terlampaui tinggi sehingga saat ia sadar mungkin itu semua sudah terlambat. “Jika kau memang bersyukur memiliki Harabeoji sebagai kakekmu setidaknya jangan sampai kau membuatnya sedih atau kecewa.” Tepat setelah mengatakkan hal itu, Jennie segera menjinjing sling bag-nya dan pergi meninggalkan restoran tersebut.

11.00 P.M

“Yang kau perhatikan itu, tanggal untuk apa?” tanya Jaehyun saat ia menemani Taeyong untuk menikmati whiskey sambil menonton televisi di ruang kerja direktur utama Daelim Corp. Pria bermarga Jung itu memerhatikan sahabatnya yang terus menegak sambil melihat kalender dengan lingkaran merah di salah satu tanggal yang akan terjadi dalam 3 hari kedepan.

Taeyong lantas menoleh kepada Jaehyun. Dengan tatapan sayunya serta senyum simpul ia menjawab, “Ini tanggal kebebasanku.”

“Maksudmu?” Jaehyun tak mengerti, sungguh.

“Ini adalah tanggal di mana aku dan wanita itu bercerai. Maka hal itu sama dengan hari kebebasanku.” Jelas Taeyong yang diselingi oleh tawa sumbang.

Entah mengapa jawaban Taeyong tidak memuaskan bagi Jaehyun. Bahkan ia merasa bahwa apa yang atasannya lontarkan adalah kebalikan dari perasaannya yang sesungguhnya. Hal itu mampu  ia buktikan sejak kedatangan Kim Janghyuk tadi siang, mood Taeyong seolah berubah. Keraguan serta kekhawatiran mendominasi, dan seperti kebiasaannya, maka untuk menghilangkan itu semua Taeyong mengambil sebotol whiskey yang ia simpan di salah satu gudang penyimpanan di kantor. Jaehyun kelewat hafal dengan kebiasaan pria bermarga Lee tersebut.

“Tidak bisakah kau jujur? Bahkan dalam keadaan mabuk saja kau masih bisa berkilah.” sahut Jaehyun dengan ketus, lantas ia pun mulai menegak sloki yang ada di tangannya.

“Jadi menurutmu aku harus bersedih?” tanya Taeyong.

“Apakah perceraian adalah sesuatu yang patut di syukuri?” timpal Jaehyun.

[Private] Pacify Her ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang