4 - Calon Mantu

545 46 0
                                    

Gesang yang sudah masuk ke dalam rumah, berjalan menuju ruang tamu dengan wajah memerah. Ia merasakan hawa panas dari tubuhnya sendiri. Padahal langit sedang tidak begitu cerah. Di luar saja tadi angin cukup berhembus menyejukkan. Karena takut ketahuan, ia memilih berdiri bersandar di dinding sebelah kanan pintu masuk ruang tamu, ia biarkan saja dulu mamanya mengobrol selama beberapa menit lagi dengan Gottfried.

Sempat kaget juga saat Mbok Jah tiba-tiba muncul dengan nampan berisi sirup dan camilan di tangan. Dengan cepat ia mengisyaratkan agar Mbok Jah pura-pura tidak melihatnya. Mbok Jah pun menurut, sambil berpikir apa yang telah terjadi pada pemuda itu sehingga sangat jelas memperlihatkan wajahnya yang putih bersih menjadi merah bak kepiting rebus.

"Oh, Ibu kira dia masih kuliah. Berarti nggak lagi di Denpasar dong. Kenapa nggak sekalian diajak ke sini? Udah lama loh, Ibu nggak ketemu adikmu itu. Ibu jadi ingat waktu pertama kali ketemu dia. Anaknya lucu, ngegemisin banget. Apalagi waktu itu gayanya udah kayak anak cowok aja. Hahahah....Oh, ini silakan diminum dulu sirupnya, sekalian dimakan juga camilannya." Mbok Jah menyuguhkan segelas sirup rasa jeruk dan kue nastar di atas meja.

"Oh, iya terimakasih. Tadi saya bawa kok Bu. Tapi, palingan ketinggalan di taman. Kayaknya dia suka taman Ibu. Banyak bunganya. Dia paling suka kalau udah menyangkut sesuatu yang indah."

"Oh, gitu toh. Wah berarti sekarang dia lebih feminin dong. Tuh, anak Ibu yang bungsu, si Mina udah kelas dua belas SMA masih aja gayanya tomboy. Rambut dipotong pendek banget udah kayak cowok. Kalo di rumah suka main pakai aja baju masnya. Nggak peduli kebesaran. Belum lagi, kadang suka lupa waktu kalau main PS sama temen-temennya."

Sementara yang dimaksud tiba-tiba tersedak saat minum air putih sambil berjalan menaiki tangga menuju ke kamarnya. Hal itu disaksikan oleh Gesang. Sepasang mata mereka sempat melirik satu sama lain, namun lebih dulu diinterupsi oleh sang adik - Mina yang kembali melanjutkan langkah kakinya. Sedangkan Gesang justru berusaha sekuat tenaga menahan tawanya. Melihat sang adik langsung merasa tertohok setelah mendengar pernyataan Syaqilah mengenai fakta hidupnya pada salah satu sahabatnya itu.

"Alhamdulillah, Bu. Dia udah berubah pas masuk kelas sepuluh. Karena Papa dan Mama udah mulai ketat sama peraturan di rumah. Dia juga udah baligh, jadi harus pakai kerudung. Masih bertahap sih. Akhir-akhir ini juga saya lihat dia udah mulai mau pakai cadar. Mama dan Papa udah jelasin sih, kalau cadar nggak wajib. Lagi pula dia nggak bisa maksain diri, soalnya kita hidup di lingkungan yang mayoritasnya non Muslim. Pasti akan kelihatan aneh." Cadar? Gesang yang masih berdiri di tempatnya mulai berusaha memikirkan sesuatu setelah mendengar pernyataan Gottfried barusan.

"MashaAlloh, beneran Nak? Bagus sekali itu. Ibu aja, udah seumuran ini bahkan nggak kepikiran buat pakai cadar."

"Ngomong-ngomong, Ibu punya bunga teratai?"

"Loh, kok tau? Kenapa memangnya?"

"Aduh, semoga adik saya nggak liat Bu. Soalnya, dia suka banget sama bunga teratai. Apalagi yang warnanya merah muda. Sekali lihat, dia pasti pengen metik bunganya."

"Oh, nggak apa-apa. Biarin aja. Ibu senang kok, kalau ada yang juga suka bunga teratai. Untuk adikmu, seratus bunga pun Ibu kasih," Syaqilah merasa senang dengan apa yang dia dengar. Baginya, tidak masalah jika ada yang ingin meminta bunga teratai miliknya. Toh, nanti juga akan berbunga lagi. Apalagi, yang dimaksud adalah Henzie. Adik Grottfried yang dulu paling membuatnya tak mau pergi dari rumah kontrakan Gottfried dan Gesang dulu waktu mereka kuliah di Jogja.

Setelah sekitar sepuluh menit menetralisir pikiran dan perasaannya, akhirnya Gesang memberanikan diri masuk ke ruang tamu, "Assalamu'alakum!"

"Wa'alaikumussalam." Jawab dua orang di ruang tamu.

TSNOAS (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang