10 - Will U Marry Me?

409 44 0
                                    

Tiada yang mengira, disaat langit masih gelap, setelah melaksanakan shalat subuh berjamaah, akhirnya pemuda itu mengutarakan keinginnannya pada orangtuanya. Apalagi kalau bukan untuk menemui gadis itu, sosok yang hampir dua bulan ini membuat pikirannya berkecamuk. Setelah berpikir akan berbagai kemungkinan yang dia dapat ketika menyatakan perasaan sekaligus melamar sang pujaan hati, tentu membuatnya tidak bisa tidur dengan nyenyak selama hampir dua malam sejak adiknya Belinda bercerita perihal keluarga van Gogh.

"Mas yakin mau melamar dia di kampus? Masih jam delapan juga. Aku aja nggak pernah ngampus sepagi ini. Ingat loh mas, Belinda juga kuliah di situ. Mau taroh di mana mukaku kalo ketahuan temen-temen? Sebagian besar dari mereka kenal lo sama mas."

"Hahahaha....kamu tenang saja, mas yakin nggak akan malu-maluin kamu. Lagian kan kalau diterima, kamunya juga yang seneng. Sekalian, mas mau buktiin kalau mas bisa lebih gentle dari cowok-cowok di kampus kamu yang katanya banyak yang naksir sama dia."

"Ih, apa sih mas? Pedenya tingkat dewa. Awas ya kalo ditolak, aku nggak mau nyuci baju mas lagi. Jangan minta bantuan mama, apalagi papa. Nyuci sendiri pokoknya."

"Iya.....yakin aja kenapa? Pa, ma, Gesang berangkat dulu ya, do'akan semuanya lancar. Biar bisa cepet dihalalin Henzie-nya."

"Aduh, udah kayak mau pergi ke medan perang aja. Lebay pisan. Udah, berangkat sana." Semprot Belinda lagi masih dengan aura mengantuk, meski wajahnya sudah dicuci.

"Ya sudah, berangkat sana. Papa dan mama selalu memberimu do'a dan restu. Berjuang anak papa yang paling ganteng!" Abdur memberi semangat. Tak lama setelah itu, si sulung dari keluarga Abdurrahman Wahid itu pun berangkat dengan berbekal sandwich harapan dan susu vanilla hangat perpaduan antara do'a dan restu dari ayah-ibu.

Sepanjang jalan, sambil menyetir mobilnya Gesang terus bersiul sambil bernyanyi dengan senangnya. Sesekali dia berteriak bak seorang penyanyi rocker. Hingga membuat beberapa pengendara lain memandangnya keheranan. "Ma, itu orang gila ya? Bajunya robek-robek, trus rambutnya kusut nggak dikeramas." Tanya seorang bocah pada ibunya sambil menunjuk ke pinggir jalan dari dalam sebuah mobil yang bersisian dengan mobil Gesang ketika berhenti di lampu merah.

"Eh, Radith tahu dari mana kalau orang itu....?"

"Kata temen Radith di sekolah, ma. Katanya kalo ada orang gila, nggak boleh deket-deket ya? Nanti dicakar."

"Emmm....bisa dibilang begitu. Tapi, ingat ya sayang orang kayak gitu juga manusia. Dia tetap punya perasaan. Lagi pula, nggak semua orang gila itu berbahaya. Justru ada loh yang malah takut sama kita."

"Oh, gitu ya ma? Kalo om yang itu, orang gila yang kayak gimana ma?" Bocah itu mengubah arah jadi telunjuknya. Ia menunjuk pada seorang pemuda yang sedang bernyanyi sambil senyum-senyum sendiri. Walau sebenarnya dia sadar sedang dipandang tidak wajar, Gesang tidak merasa terganggu. Toh, sekarang dia sedang merasa dirinya adalah orang yang paling bersemangat di hari yang cerah ini.

"Eh! Om itu bukan orang gila, sayang. Kayaknya, dia cuman lagi bahagia banget. Makanya semangat gitu nyanyinya." Setelah mendengar penjelasan sang ibu, bocah itu mengangguk sambil ber-oh panjang. Saat itu pula mobil mereka sudah tertingal di belakang mobil Gesang, karena lampu trafik sudah berganti hijau.

~~~

Sesampainya di Universitas A, Gesang mulai menelusuri keberadaan sang tuan putri. Yang terlihat hanya segelintir 'rakyat jelata' saja. Sebagian dari mereka adalah petugas kebersihan di lingkungan kampus dan juga ada beberapa satpam yang sedang duduk santai di dalam pos jaga di depan gedung setiap fakultas.

Karena dia sering berjalan-jalan di sekitar kampus, setiap kali ingin menjemput Belinda, tanpa sadar sedikit banyaknya dia sudah hafal lingkungan kampus. Apalagi, sejak dia menyadari perasaannya pada Henzie, dalam hitungan hari dia berubah menjadi seorang stalker.

TSNOAS (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang