Setelah sekitar dua puluh menit berkendara, akhirnya Gesang memarkir mobilnya di area parkir sebuah restoran di dekat pantai Kuta. "Dek, makan lagi ya. Sandwich sama sari kacang kedelai pasti udah nyerap ke usus adek. Nggak mungkin bisa tahan sampai jam segini," ucap Gesang saat mereka sudah duduk saling berhadapan.
"Mas makan juga kan?"
"Iya, kebetulan tadi mas juga cuma makan apel sebiji sama susu doang. Adek mau pesen apa?"
"Coba lihat menunya mba," lalu seorang wanita dengan pakaian pelayan menyerahkan satu buku menu lagi pada Henzie.
"Mba, saya pesen makanannya yang ini, yang biasa aja jangan yang pedas. Minumnya air putih aja, hangat ya," ujar Henzie.
"Loh, kok air putih aja dek? Kan masih banyak yang lain?"
"Nggak deh mas, Zie nggak biasa makan berat sambil minum yang ada rasanya gitu. Tapi kalau buat pembuka, jus wortel boleh juga."
"Ya sudah, saya pesen samaan deh dengan calon istri saya ini mba. Tapi, saya pesen jus mangga ya," ucap Gesang yang terdengar ada penekanan pada kata 'calon istri'. Membuat pelayan di depannya mengangguk paham. Henzie tidak tahu, kalau restoran ini adalah milik papa Gesang. Otomatis para pelayan, bahkan manajer restoran mengenalnya. Meski begitu, Gesang sudah mengantisipasi hal itu. Sehingga mereka bersikap biasa-biasa saja, seperti tidak saling mengenal.
Henzie yang juga mendengar hal itu hanya tersenyum malu-malu. Di benaknya ingin sekali dia menendang kaki Gesang di bawah sana. Tapi, dia ingat satu hal. Please Zie, bersikaplah seperti seorang wanita sesungguhnya. Jangan urakan, tahan dulu ketomboy-anmu itu, batinnya.
"Jadi, emmmm....Zie boleh ngomong sekarang?" tanya Henzie setelah merasa sudah siap.
"Boleh kok, siapa yang ngelarang adek sih? Ya udah, mau ngomong apa?' tanya Gesang lembut.
"Aduh, gimana ngomongnya ya? Tapi, janji ya jangan diketawain?"
"Justru sikap adek yang begini bikin mas jadi pengen ketawa. Kamu tuh lucu deh," jawab Gesang terkekeh.
"Tuh kan, Zie serius mas."
"Oke oke, mas janji nggak ketawa. Jangan cemberut gitu dong, gemes tauk. Please jangan nyiksa mas gini."
"Emmmm.......ini misalnya aja nih, misal aja ya...." kalimat Henzie masih menggantung, menunggu anggukan dari Gesang.
"Iya, misalnya apa?" tanya Gesang penasaran.
"Emmmmm.....misalnya kita u...udah ni..nikah. Ehemmm...anu, mas mau honey moon ke mana?" tanya Henzie, kalimat yang terakhir sengaja dia pelankan volume suaranya. Gesang hampir tak bisa mendengarnya dengan jelas.
"Hah? Apa dek? Adek mau apa? Coba suaranya kencengin dikit lagi dong," tanya Gesang semakin penasaran.
"Mas - mau - honey - moon - di mana?" kata Henzie, kemudian menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
Sedetik tidak ada suara, belum terdengar respon dari pemuda di depannya. Dua detik, tiga detik hingga sepuluh detik, tak terdengar apa pun. Akhirnya Henzie menyerah, diintipnya Gesang dari sela-sela jari tangannya yang masih menutup wajahnya yang mulai bersemu merah. Ia belum berani membukanya karena wajahnya sudah benar-benar terasa seperti 'terbakar'.
"Dek, kok mukanya ditutup? Nggak usah malu gitu dong, buktinya mas nggak ngetawain adek kan? Justru mas ngerasa seneng banget bisa ngobrol berdua begini sama adek. Ini pertama kalinya kita ketemu dalam keadaan yang sudah tahu perasaan masing-masing. Katanya dulu tomboy, kok sekarang malah malu-malu gitu sih?"
"Bukan masalah dulu tomboy atau enggak mas. Yang namanya cewek ya tetap aja kan ngerasa malu kalau lebih dulu ngomongin masalah gituan," jawab Henzie masih dengan wajah yang masih ditutup.
KAMU SEDANG MEMBACA
TSNOAS (Tamat)
RomanceCinta itu hadir bukan tanpa sebab, bukan pula suatu keinginan yang sudah terencana. Semua ada prosesnya. Selama ini, dua sejoli dek Henzie dan mas Gesang saling menyukai tanpa menyadari kapan bermula itu terjadi. Hingga suatu ketika, sebuah kejutan...