22 - Implementasi Pernikahanan

384 29 0
                                    

Semilir angin laut bergulir menerpa daun pepohonan dan rumput ilalang di tepian bukit. Menerjang tenda-tenda putih bercampur biru dihiasi bebungaan berwarna warni. Di salah satu sisi, duduklah para tamu undangan penuh dengan perasaan haru. Di depan mereka kini, ada beberapa orang yang sedang duduk saling berhadap-hadapan. Salah satunya adalah duduk seorang pemuda berparas rupawan yang diketahui sebagai mempelai pria. Di depannya, kini duduk seorang lelaki paruh baya dengan paras khas keturunan Eropa, yang didampingi oleh seseorang yang mereka ketahui adalah seorang penghulu.

Lalu, di manakah sang mempelai wanitanya? Tentu saja, saat ini dia masih duduk di salah satu tenda yang memang khusus disiapkan untuknya. Yaitu Henzie, gadis yang hampir tak bisa menahan rasa gugupnya sejak kemarin itu, terus saja mengeluh sambil memeluk pinggang sang mama.

"Ma, Zie gugup banget."

"Hahahah...nyantai aja kali, lebay banget sih kamu. Bikin gemes aja," protes Rajacena cekikikan kemudian diikuti Susanti, sahabat Henzie yang juga ikut duduk di sampingnya.

"Ma, kak Cena ih rese banget," adu Henzie sebal, disusul rengekan manja terhadap sang mama.

"Cena, udah deh. Jangan diejek terus adikmu, kasian nih," ujar Wilma menengahi.

Lalu, tak lama kemudian terdengarlah suara sang papa sedang mengucapkan kalimat sakral itu, yaitu kalimat ijab kabul.

"Saya nikahkan dan kawinkan engkau Gesang Mustofa Wahid dengan putri saya yang bernama Vincentia Henzie Van Gogh binti Vincent Van Gogh dengan mahar seperangkat alat shalat dan satu frame lukisan ukuran lima puluh kali lima puluh senti meter karya Gesang Mustofa Wahid, dibayar tunai," ucap Vincent lantang.

"Saya terima nikah dan kawinnya Vincentia Henzie Van Gogh binti Vincent Van Gogh dengan mahar seperangkat alat shalat dan satu frame lukisan ukuran lima puluh kali lima puluh senti meter karya saya sendiri Gesang Mustofa Wahid, tunai," balas Gesang tak kalah lantangnya, sangat jelas, mulus tanpa hambatan sedikitpun.

"Bagaimana para saksi? Sah?" tanya pak penghulu.

"Sah!" jawab para saksi serempak, yang duduk di belakang mereka.

"Alhamdulillah. Barakallah......." Begitulah seterusnya hingga pembacaan do'a yang dipandu oleh pak penghulu selesai.

"Henzieee....udah sah," teriak Belinda dari luar tenda Henzie, gadis itu masuk dengan langkah yang tergopoh-gopoh saking semangatnya.

"Alhamdulillah!" ucap syukur dari Henzie, Wilma, dan Rajacena serempak, disusul ucap syukur Susanti sesuai agama Hindu yang memang dia anut selama ini.

"Ayok, keluar sekarang yuk sayang," ajak Wilma pada Henzie. Gadis itu pun menurut walau masih dengan perasaan yang benar-benar gugup. Kakinya sendiri pun hampir tak bisa berdiri. Wilma bisa merasakan bagaimana tangan putrinya itu gemetar.

"Zie, bisa berdiri? Mau aku bantu?" tanya Susanti was-was, melihat gelagat Henzie yang sedikit mencurigakan. Sayangnya dia tidak bisa melihat dengan jelas melalui ekspresi gadis itu, karena dia sedang mengenakan cadar tipis di wajahnya. Belum lagi, pencahayaan di dalam tenda kurang memadai.

"Bisa kok San, Bismillahirrahmanirrohim!" ucap Henzie sambil berjalan perlahan keluar dari tenda. Saat dia sudah berdiri di depan tenda, para sanak saudara teman-teman dan tamu undangan lainnya bersorak sorai menyambutnya. Beberapa orang baik dari kalangan fotografer yang disewa khusus maupun para wartawan satu per satu mulai memotret momen-momen di saat gadis itu berjalan menuju pelaminan outdoor-nya.

"MasyaAlloh, cara jalannya aja anggun banget. Gimana rupa wajahnya ya? Pasti cantik banget," komentar Nuri, salah satu teman kuliah Henzie yang disusul anggukan dari Laras di sampingnya.

TSNOAS (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang