24 - Welcome to Schipol Airport

397 28 0
                                    

Keesokan harinya, di bandara Internasional Ngurah Rai Bali, orang tua Gesang dan Henzie sudah bersiap melepas mereka untuk memasuki pesawat yang akan menuju bandara Schipol, Amsterdam. Sejak keberangkatan Gesang dan Henzie dari rumah orang tua Gesang, tak henti-hentinya Syaqilah menceramahi mereka berdua tentang beberapa hal. Salah satu contohnya adalah agar tetap menjaga kesehatan dan pola makan yang sesuai selama berada di sana. Wilma juga sempat mengingatkan hal itu di telepon semalam.

Untuk Henzie sendiri, diwajibkan meminum susu prenatal setiap hari. Saat pagi setelah bangun tidur dan malam menjelang tidur, tidak boleh banyak beraktivitas dan selalu menjaga porsi gula dan garam yang dia konsumsi. Sedangkan Gesang, tentu saja dia harus memakan olahan kecambah setiap hari, paling sedikit satu kali. Karena makanan itu hampir tak bisa ditemui di Amsterdam, Syaqilah sudah mengantisipasi hal itu.

Dia sengaja mengemas sekitar satu kilo gram kacang hijau dalam sebuah box khusus. Awalnya Gesang menolak, tapi bukan Syaqilah namanya jika tidak lebih keras kepala dari suami dan anak-anaknya.

Menurutnya, mamanya itu terlalu berlebihan. Lagi pula, dia malah merasa terkesan seperti bukan seorang pria sejati karena harus melakukan cara seperti itu. Asal tahu saja, dari jaman dulu hingga Gesang dilahirkan, semua keturunan kakeknya, ayah dari papanya selalu melahirkan anak lebih dari tiga orang. Namun, karena bujukan Henzie, dia akhirnya menurut saja.

"Jangan lupa ya salam buat mereka yang ada di sana, oh ya bilangin opa dan oma supaya nggak terlalu sering minum coklat panas," ucap Wilma pada Henzie. Ia hanya mengangguk kemudian memeluk mamanya erat.

"Salam buat Roosevelt deh, bilangin jangan sibuk kerja mulu. Sekali-kali telpon aku atau chat gitu. Tuh anak kalau nggak ditegur lama-lama lupa sama sepupu seperguruannya," tambah Rajacena, Henzie mengangguk kemudian memeluknya.

Saat Henzie sudah berdiri di depan Vincent, ia hanya menemukan pria itu tersenyum padanya. Kemudian memeluknya erat sambil mencium kening sang putri. "Papa nggak nitip sesuatu gitu sama Zie?" tanya Henzie sambil tersenyum kecut. Rasanya seperti akan pergi lama saja, entah kenapa perasaannya jadi mellow begitu.

"Cepet pulang, Zie sayang. Papa bakal kangen putri manis papa ini. Jangan lupa telepon kalau sudah sampai rumah opa dan oma," ujar Vincent bijak, berusaha menjadi sosok yang lebih tegar ketika sang putri mulai terlihat rapuh. Henzie hanya mengangguk dalam pelukannya, tak mampu berkata-kata lagi. Setelah itu gadis itu beralih memeluk Gottfried yang tiba-tiba berbisik padanya.

"Jangan lupa bawa pulang ponakan dalam perut buat gue dari sana," ucapnya, membuat Henzie seketika itu juga melepas pelukannya dan melotot tajam sambil memukul pelan dada bidang abangnya itu. Gottfried hanya terkekeh. Sedangkan yang lain justru terlihat bingung, penasaran tentang apa yang sedang dibicarakan kaka beradik itu.

Setelah puas cipika-cipiki, mengucapkan salam dan melambai pada kedua orang tua mereka, Gesang dan Henzie pun mulai berjalan menuju pintu masuk. Saat sudah duduk dalam pesawat, Henzie masih terisak dalam pelukan Gesang. Pemuda itu hanya terus berusaha menenangkannya dengan sabar dan penuh kelembutan.

"Sayang, udah dong nangisnya. Nanti dedek berudunya juga ikut sedih, nggak nyampe-nyampe dong dia ke finish," guyon Gesang, membuat Henzie memukul bahunya sebal.

"Apa sih mas, receh banget. Maaf nih, nggak ada uang kecil. Udah, pindah sana ke lapak sebelah," ujar Henzie manja, pura-pura merajuk.

"Masa? Pindah ke situ? Yakin nih?" balas Gesang, menunjukkan pada satu kursi yang masih kosong di seberang. Terlihat di sana seorang perempuan sepantaran dengannya sedang duduk sendirian. Wajahnya cantik, dan rambutnya ikal tergerai hingga sebahu. Melihat hal itu tiba-tiba Henzie menarik Gesang dan membenamkan wajahnya di dada suaminya yang asoy, pelukeble itu.

TSNOAS (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang