Selama tujuh bulan kehamilannya, Henzie tidak menemukan banyak kesulitan yang berarti. Di awal, saat masa ngidam pun, perempuan itu tidak banyak maunya. Meski terkadang suka pengen makan sesuatu di malam hari, dia tidak pernah memaksa suaminya untuk membelikannya segera. Toh, dia tidak begitu percaya dengan takhayul yang bilang anak akan ileran terus kalau lahir gara-gara nggak dipenuhi keinginannya saat ngidam.
Lagi pula, dia juga harus paham situasi. Masa kepengen makan sesuatu yang lagi nggak musimnya, atau yang emang belum waktunya, dia memaksa harus dapat di saat itu juga? Kan kacau. Bisa-bisa suaminya bingung mau mencari kemana. Salahkan dia kalau suaminya stres karena kelakuannya.
"Mas, ini masih jam tujuh kan, ya?" tanya Henzie sesaat setelah melihat jam dinding tepat di atas televisi, yang menunjukkan jam tujuh malam. Keduanya duduk santai di sofa sambil menonton televisi dengan posisi perempuan itu duduk sambil dipeluk di samping sang suami.
"Emang kenapa dek?" tanya Gesang, setelah mengalihkan tatap pada istrinya.
"Adek mau makan sate kambing yang di restoran waktu kita makan bareng keluarga besar itu loh, mas. Yang waktu acara ulang tahun pernikahan papa sama mama. Mas mau beliin?" tanya Henzie. Sebenarnya di usia kandungannya yang ke tujuh bulan ini, keinginan akan sesuatu sudah tidak begitu sering muncul lagi. Namun, kadang di saat tertentu perempuan itu memang sedang ingin makan sesuatu. Entah karena dia teringat pernah memakannya dan ingin lagi merasakannya atau hanya sekedar rindu pada beberapa makanan yang mengingatkannya tentang masa kecilnya dulu.
"Ya udah, mas beliin. Adek mau ikut atau tunggu sebentar di rumah?"
"Ikut aja mas, pengen makan di sana. Lagian tempatnya bagus banget. Adek mau sekalian cuci muka, eh maksudnya cuci mata. Bosen diem di rumah terus. Habis kuliah paling langsung pulang ke rumah. Mas juga nggak ngebolehin adek pergi jalan-jalan sendirian. Kecuali kalau sama mba Belinda atau mama Syaqilah."
"Ya ampun, kasian banget sih istriku. Maafin mas ya karena udah ngebatasin ruang gerak adek. Ini juga demi kamu sama si kembar. Kamu kan lagi hamil tiga bayi sekaligus loh," ucap pria itu menghadap sang istri sambil mengacungkan tiga jari di udara.
"Dokter kan pernah bilang, kamu lebih rentan cepat lelah. Udah tujuh bulan aja, perut adek udah segede kayak hamil sembilan bulan. Gimana kalau dah sembilan bulan beneran? Mas nggak tega liat adek kecapekkan bawa-bawa buntelan itu ke mana-mana," kekeh Gesang. MasyaAllah, kok malah ngelawak sih?
"Apa sih mas? Buntelan? Mereka anakmu juga mas. Susah lo bikinnya bisa sampai langsung tiga. Meskipun adek sampai sekarang masih belum percaya. Dulu ngebayangin hamil satu bayi aja udah syukur," sanggah Henzie. Ia gemas, lalu mencubit perut suaminya tanpa belas kasihan.
"Aw! Aduh, sakit dek. Nyubitnya pakai perasaan banget sih? Jadi nggak nih makan sate kambingnya? Buruan siap-siap gih. Mas mau manasin mobil dulu."
"Ckckck, pinter ya ngalihin pembicaraan. Ya udah, adek ganti baju dulu," Henzie pun bergegas ke kamar mereka. Ini rumah yang dulu di janjikan Gesang. Sudah hampir tiga bulan mereka tinggal di sini. Ukurannya cukup minimalis, dan dua tingkat. Namun, tetap terlihat mewah dan modern. Di halaman belakang ada taman kecil, di sana sengaja diletakkan kursi untuk bersantai di sore hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
TSNOAS (Tamat)
RomanceCinta itu hadir bukan tanpa sebab, bukan pula suatu keinginan yang sudah terencana. Semua ada prosesnya. Selama ini, dua sejoli dek Henzie dan mas Gesang saling menyukai tanpa menyadari kapan bermula itu terjadi. Hingga suatu ketika, sebuah kejutan...