29 - Antenatal

355 19 0
                                    

Setelah seminggu pergi berbulan madu ke Belanda, akhirnya Henzie dan Gesang kembali ke tanah air. Sudah sebulan semenjak saat itu Henzie diboyong oleh suaminya tinggal di rumah orang tua pria itu. Meski pun sudah menikah, Henzie memang memenuhi janjinya untuk tetap melakukan rutinitas setiap hari Minggunya, yakni pulang ke Ubud.


Seperti hari ini, dia bersama suaminya sedang bersiap untuk pergi. "Adek yakin, nggak apa-apa? Mukamu masih pucat sedari tadi subuh. Badannya juga masih anget," ujar Gesang sambil menyentuh dahi istrinya.

"Nggak papa mas. Ini cuman demam biasa kok, nanti juga sembuh," jawab Henzie sambil tersenyum semanis mungkin. Iya tidak mau suaminya terlalu khawatir.

"Adek yakin? Nggak mau ke rumah sakit dulu? Biar sekalian ya sebelum ke Ubud," bujuk Gesang.

"Mas, adek nggak apa-apa kok. Beneran. Ini cuman lagi nggak pake makeup aja, makanya keliatan pucat," balas Henzie lagi.

"Ya sudah, tapi bilang ke mas ya kalau adek ngerasa makin nggak enak badannya. Nanti di mobil kamu tidur aja ya," sanggah Gesang. Henzie mengangguk sambil menyunggingkan senyum meyakinkan.

Selama perjalanan, memang tidak banyak percakapan yang mereka lakukan. Henzie memang merasa cukup lelah, hampir setengah perjalanan ia habiskan waktunya untuk tidur di dalam mobil. Melihat keadaan istrinya yang tidak biasa itu, Gesang bahkan sempat beberapa kali menghembuskan nafas berat. Istrinya yang biasanya ceria dan selalu mendominasi, justru terlihat lemah tak berdaya.

Kekhawatirannya pun tidak serta merta memudar, mengingat saat sarapan tadi Henzie hanya sempat makan beberapa potong roti panggang. Belum lagi, susu prenatalnya bahkan hanya mampu ia minum sepertiganya saja.

Sempat Syaqilah, sang mama dengan sok jiwa dukun beranaknya mendiagnosa menantunya itu sedang mengandung cucunya. Akan tetapi, kekhawatiran lebih mendominasi putra sulungnya ini. Dia tak mempermasalahkan apakah Henzie benar-benar sedang hamil atau tidak. Yang dia takutkan adalah kesehatan istrinya yang tiba-tiba memburuk seperti ini.

"Mas, loh udah sampai toh. Kok nggak bangunin adek?" tanya Henzie saat Gesang menggendongnya menaiki tangga menuju lantai atas.

"Adek kan lagi sakit, butuh istirahat di kamar. Lagian emang adek sanggup jalan sendiri?" jawab Gesang, lalu ditambah dengan pertanyaan.

"Nggak juga sih, kepala adek rasanya pusing mas," balas Henzie manyun, lalu tiba-tiba mengeratkan pelukannya pada leher Gesang dan semakin menenggelamkan kepalanya ke dada bidang suaminya. Pria itu terkekeh melihat tingkah manja Henzie.

Sesampainya di kamar, Henzie langsung dibaringkan ke tempat tidur mereka. Dengan hati-hati Gesang menaruhnya lalu menyelimuti tubuh istrinya itu hingga batas pinggang. "Kenapa tuh, kok nggak biasanya kalem gitu? Biasanya kalau dateng ke sini kerjaannya suka langsung ngerecokin gue," sentak Gottfried sambil berdiri di ambang pintu kamar adiknya.

"Aaaabaaang, jangan ganggu adikmu. Dia lagi sakit," ujar Wilma di belakang laki-laki itu, sambil menampol kepala putra sulungnya. Di tangannya yang lain sedang memegang baskom kecil berisi air hangat untuk kompres putrinya. Karena tadi pada saat Gesang baru masuk rumah, Wilma sudah sempat melihat keadaan Henzie. Meski agak panik, ia berusaha untuk tidak hilang kendali.

"Aw, sakit ma. Nggak usah mukul kepala kali. Malu tau di depan Gesang, udah gede ini."

"Lagian kamu ini kayak idiot banget dalam membaca situasi. Kalau Ziezie lagi diem, itu artinya dia lagi ada sesuatu. Sakit atau sariawan."

"Ah, masa sih cewek tangguh itu masih bisa sakit? Perasaan, di antara putra dan putri mama, dia kan paling jarang banget sakit," ujar Gottfried sambil mengusap-usap kepalanya.

TSNOAS (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang