26 - Geithoorn Village

297 25 1
                                    

Keesokan harinya, sekitar jam delapan pagi Griseldis dan kedua keponakannya berangkat ke Geithoorn Village dengan menggunakan jalur kereta api dari Amsterdam Central, mengambil platform 10a ke arah Almere, lalu turun dan pindah kereta lain menuju Zwolle. Setiba di Zwolle lanjut naik bus, posisi halte bus dekat dari stasiun kereta.

Naik bus nomor 70 (Steenwijk), lalu stop di Geithoorn. Selama hampir dua jam perjalanan, akhirnya mereka sampai di desa tersebut, betapa rasa nyaman merasuk ke dalam jiwa. Suasana yang tenang, lingkungan bersih dan rapi, pemandangan asri, tidak bising dan tidak ada kendaraan bermotor yang bisa lewat karena hanya sepeda saja alat transportasi yang biasa dipakai penduduk untuk jalan di darat, selebihnya dengan berjalan kaki atau naik perahu untuk keliling mengitari jalur air. Sejenak Gesang berpikir, tempat ini benar-benar akan membuat betah untuk beristirahat dari kesibukan pekerjaannya selama ini.

Dari tempat mereka berdiri saat ini, terlihat tante Griseldis sedang berbicara pada seorang pemilik salah satu perahu di bibir sungai. "Jadi, gimana menurut mas?"

"Hah? Apa dek?" tanya Gesang cengo. Pasalnya sedari tadi pikirannya hanya terpaku pada pemandangan alam desa yang menenangkan jiwanya. Sehingga hampir melupakan keberadaan sang istri yang terkekeh saat memperhatikan ekspresi takjubnya.

"Itu loh, gimana komentar mas soal desa ini?" ulang Henzie.

"Bagus banget dek. Mas jadi pengen tinggal di sini lebih lama. Kita nggak usah pulang aja ya?" ujarnya sambil memperlihatkan ekspresi memohon. Henzie pun tergelak melihat tingkah suaminya yang hiperbolis ini.

"Ada apa Zie, kok ketawa begitu?" tanya Griseldis heran. Ternyata dia sudah menyelesaikan negosiasinya dengan pemilik perahu.

"Nggak apa-apa tan. Jadi, gimana udah selesai negosiasinya?" tanya Henzie mengalihkan pembicaraan. Griseldis mengangguk, kemudian menginstruksikan agar pemilik perahu tadi membantu mengangkut barang-barang mereka.

"Kok naik perahu dek? Nggak jalan kaki aja gitu?" tanya Gesang, saat mereka bertiga sudah duduk manis di dalam perahu bermuatan sepuluh orang.

"Nanti deh kapan-kapan, adek lagi cape banget ini mas. Kalau jalan kaki, kejauhan. Rumah opa dan oma hampir di ujung desa. Kebetulan rumah mereka dibangun cukup jauh dari jalan masuk utama desa ini," jawab Henzie sambil memperlihatkan guratan-guratan letih di wajahnya. Gesang mengangguk, lalu refleks merangkulkan tangan kirinya ke pinggang Henzie. Memintanya agar Henzie menyandarkan kepala gadis itu ke bahunya. Seakan tidak peduli, walau saat ini mereka sedang diperhatikan oleh Griseldis yang tak hentinya memandang dengan tatapan jahil.

Sesampainya di rumah opa dan oma, Henzie, Gesang dan Griseldis disambut hangat oleh Gnisilda, opa dan oma

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sesampainya di rumah opa dan oma, Henzie, Gesang dan Griseldis disambut hangat oleh Gnisilda, opa dan oma. Dengan penuh rasa haru, Henzie memeluk ketiganya bergantian dengan waktu yang cukup lama. Saking rindunya, sampai mengeluarkan air mata. Biarlah jika dia dianggap cengeng oleh suaminya saat ini. Itu lebih baik dari pada berpura-pura tegar padahal hatinya benar-benar perih ketika tiba-tiba teringat dengan kabar yang diceritakan oleh Roosevelt kemarin di bandara.

TSNOAS (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang