Di sore hari yang sejuk, Gesang dan Henzie pun bersepeda mengitari jalanan setapak Geithoorn village. Mereka mengenakan setelan baju hangat untuk menghalau dinginnya udara pedesaan. Hampir tiga puluh menit berkeliling, mereka memutuskan untuk berpiknik di sebuah taman yang letaknya di tengah-tengah desa, bersantai sejenak di bawah pohon persik. Sambil menikmati coklat panas dan sepotong sandwich yang memang sudah mereka siapkan dari rumah opa dan oma.
Di tengah-tengah menyantap makanan mereka, tiba-tiba seorang pemuda dengan perawakan tinggi semampai berparas rupawan dengan garis wajah khas keturunan Eropa, berjalan mendekat.
"Zie, kau kah itu?" tanya pemuda itu saat sudah berdiri di hadapan mereka.
"Maaf, siapa ya?" tanya Henzie heran.
"Ziezie, kau lupa padaku? Aku Max, sahabat masa kecilmu dulu," jawab pemuda itu, tanpa aba-aba langsung ingin memeluk Henzie. Sebelum itu terjadi, perempuan itu lebih dulu menyela. Menolak untuk dipeluk. Dia masih waras, meski merasa kaget bercampur bahagia ia masih ingat batasannya. Apalagi saat ini di antara mereka ada suaminya.
"Tunggu, Max?" ujarnya berusaha bersikap sesopan mungkin.
"Loh, kenapa kau tak mau kupeluk?" tanya pemuda bernama Max heran, alisnya saling bertaut. Lalu pandangannya beralih pada Gesang yang berdiri tepat di belakang Henzie.
"Maaf sebelumnya. Mungkin kau belum mengerti, tapi kumohon jangan tersinggung. Memeluk seorang wanita yang bukan keluargamu itu hal yang tidak boleh dilakukan dalam agamaku," ujarnya, membuat Max tersentak. Namun, berusaha menetralkan keadaan.
"Ba...baiklah. Jadi, bagaimana kabarmu?" tanyanya kemudian.
"Alhamdulillah, aku baik. Astaga, aku hampir tak mengenalmu. Kau Max, Maxence? Maxence yang dulu gendut dan berkaca mata itu?" tanya Henzie takjub.
"Ya, kau tak percaya dengan apa yang kau lihat? Ini aku, Maxence si bocah buntal. Kapan kau datang, kenapa tak berkunjung ke rumah opa dan omaku?"
"Maaf, Max. Tadinya aku ingin berkunjung, tapi hari sudah hampir senja. Kupikir besok aku baru akan mengunjungi mereka. Oh ya, perkenalkan dia Gesang, suamiku," ujar Henzie.
"Suami? Maksudmu?" tanya Maxence tak percaya.
"Yup! Aku suaminya. Ada masalah?" sambar Gesang datar, naluri lelakinya merasakan sebuah gelagat yang agak mencurigakan. Nampaknya, pria bernama Maxence ini memiliki perasaan yang lebih dari sekedar perasaan seorang sahabat terhadap istrinya.
"Oh, tidak. Maksudku, Zie kenapa kau tak mengabariku? Apa kau tak menganggapku sahabatmu lagi?"
"Bu...bukan begitu, Max. Aku tak bermaksud melupakanmu. Hanya saja, kurasa jarak kita yang terlalu jauh. Aku tak ingin merepotkanmu, lagipula aku kehilangan nomor kontakmu. Jadi, maafkan aku. Apa kau sangat marah?" Henzie merasa bersalah sekali karena tak mengundang sahabatnya ini. Walau malu mengakuinya, dia tak menampik kalau sebelumnya dia memang lupa dengan hubungan mereka. Bukan karena dia tak menghargai arti dari sebuah persahabatan. Namun, wajar kan kalau dia melupakan hal itu sebab itu sudah sangat lama sekali. Terakhir mereka bertemu pun ketika masih di usia sekolah SMP. Itu pun mereka bersikap saling malu-malu. Setelah itu, tak ada satu pun di antara keduanya yang memberi kabar lagi.
"Hahahahah....kau ini. Aku hanya bercanda. Jadi, ternyata kau benar-benar menikahi pria Indonesia? Ah, aku benar-benar tak percaya. Kupikir, jika tidak akulah yang akan melamarmu seandainya kau belum menikah," ucapnya terkekeh. Padahal perasaannya dongkol sekali saat ini.
"Benarkah? Wow! Artinya kau kalah cepat bung," sela Gesang. Henzie malah kikuk sendiri melihat tatapan saling membunuh kedua pria itu.
"Zie, katakan saja padaku jika suatu saat dia berani menyakitimu," ucap Maxence lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
TSNOAS (Tamat)
RomanceCinta itu hadir bukan tanpa sebab, bukan pula suatu keinginan yang sudah terencana. Semua ada prosesnya. Selama ini, dua sejoli dek Henzie dan mas Gesang saling menyukai tanpa menyadari kapan bermula itu terjadi. Hingga suatu ketika, sebuah kejutan...