13 - Berjuta Rasa

326 38 0
                                    

"Zie beneran suka sama dia?" Henzie mengangguk. "Dia juga beneran suka sama Zie?" Dia mengangguk lagi, lebih mantap. "Zie yakin mau nikah sama dia?" Kali ini dia mengangguk agak pelan. Vincent menarik napas dalam dan menghembuskannya kasar. "Vincentia Henzie van Gogh, putri papa yang paling baik sealam semesta. Pernikahan adalah bukan hubungan yang hanya satu atau dua hari saja."

"Pernikahan adalah suatu hubungan yang berlaku seumur hidup. Yang tentu saja, di dalamnya akan melibatkan keluarga besar dari kedua belah pihak. Zie harus siap hidup di lingkungan yang baru, harus bisa cepat beradaptasi, tidak boleh saling menyimpan rahasia. Harus saling percaya dengan pasangan. Kalau ada masalah, harus diselesaikan dengan kepala dingin. Ingat, kata perceraian adalah hal yang sangat tabu dalam hubungan ini. Seandainya seorang suami sudah menjatuhkah talak sekali, mungkin tidak akan masalah. Tapi, jika untuk yang ketiga kali, maka selesai sudah hubungan itu. Zie sudah belajar juga kan hukum pernikahan dan syarat-syaratnya?" Henzie mengangguk.

"Jadi, sekarang apa keputusanmu?"

"Maksud papa?"

"Mau menikah atau tidak sama siapa itu namanya? Aduh papa lupa!"

"Eh, papa? Tunggu, ini apa maksudnya pa? Aaaaaaa...ups! Maaf, suara Zie kekencengan ya? Jadi, papa ngerestuin Zie sama mas Gesang? Papa serius?" Vincent hanya diam, masih belum mau berkomentar. "Tapi, gimana sama papa?"

"Gimana ya?"

"Ih, papa kok jadi plin plan gini sih?"

"Tauk ah. Gelap! Papa ngantuk. Sudah, kamu juga harus tidur kan. Besok harus bangun subuh."

"Pa....bilang dulu dong kalau papa setuju."

"Nggak ah, besok saja." Vincent pun berlalu tanpa menghiraukan pertanyaan Henzie.
~~~

"Oh, jadi kesimpulannya papa sempet nggak mau ngomong sama kamu karna lagi terbakar api cemburu toh. Trus semalem tiba-tiba ke kamar kamu karena nggak tahan lagi ngediemin kamu? Pas dikamar kamu, papa justru ngasih wejangan-wejangan perihal pernikahan. Habis itu, malah terkesan plin plan karena sampai sekarang kamu belum yakin keputusan papa? Jadi, intinya kamu takut kalau papa nolak si Gesang itu?"

"Mas, kak. Panggil dia mas Gesang. Kan lebih tua dari kakak."

"Iya, iya. Mas Gesang mu. Dasar bawel. Ya udah deh, yuk turun."

"Eh, segitu doang? Trus gimana sama aku?"

"Udah, kamu tenang aja."

"Ih, kok aku disuruh tenang sih? Bikin was-was aja. Emang papa udah balik ke ruang tamu ya?"

"Nggak tau. Udah ikut aku aja. Ayok."

"Eh, iya. nggak usah pake narik-narik segala kali. Dari tadi kakak sukanya main seret aja. Nanti dandanan aku berantakan nih."

"Ya elah, lebay amat sih. Nggak bakalan rusak kok, tenang aja. Kalau rusak pun, mas Gesangmu itu nggak ilfeel juga kan sama kamu." Lalu, saat mereka sudah sampai di depan ruang tamu, langkah Rajacena dan Henzie terhenti karena mendengar kalimat terakhir papa mereka dari dalam.

"Eh, itu papa habis ngomong apa kak? Aku nggak salah denger kan? Kak Cena juga denger itu kan?"

"Zie......."

"Kak Cena..." refleks keduanya berteriak kegirangan. Tak sadar, kegiatan saling merangkul mereka telah disaksikan oleh semua orang yang ada di dalam ruangan itu. Gesang hampir melompat ikut memeluk Henzie, kalau saja tidak mengingat apa yang sebelumnya di katakan oleh Vincent padanya ketika pria setengah baya itu sengaja meminta untuk bicara berdua saja dengannya.
~~~

Tak terasa, matahari sudah berada pada puncaknya. Semakin siang, udara pun semakin panas di luar sana. Untung saja, rumah keluarga van Gogh sudah dipasangi AC di setiap sudut. Termasuk ruang makan keluarga. Setelah lelah menunggu keputusan sang tuan rumah, rasanya seperti sudah terhindar dari bencana besar.

TSNOAS (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang