11. Kejujuran Prayoga

5.7K 646 45
                                    

Mata yang hampir beberapa hari itu menangis kini kembali sembab, siluet kelopak matanya kini terlihat mengecil, Maura menangis menyuara, namun tak ada air mata yang jatuh, barangkali tak ada lagi tersisa air mata untuk ia keluarkan bersama hati yang kembali sakit dari rentetan duka yang tak pernah lelah datang menyapa.

[❣]

Prayoga Utomo melangkahkan kaki, bersamanya 1 koper berisikan pakaian Viena ia bawa sekaligus agar nanti malam tak perlu bersusah payah untuk mengangkut barang-barang, toh Vienapun tak lama tinggal di sini, Prayoga menyusun strategi, agar Maura mau untuk tinggal menetap bersama keluarganya.

Di teras halaman belakang, tak jauh dari kolam ikan emas peliharaan Irene, Maura duduk di atas kursi ayunan besi menatap gerak air dan ikan yang berenang dengan tatapan kosong, ia hanya menoleh sebentar saat menyadari Prayoga Utomo mengambil posisi duduk di sampingnya sembari menatap kolam ikan bersamaan.

"Hidup akan terus berlangsung, apa kamu akan terus melamun seperti ini?"

Maura masih menyisakan keheningan tak ada suara yang ia keluarkan, bahkan energinya tak lagi ada untuk sekedar menjawab pertanyaan Prayoga. Tatapannya kosong tanpa makna, mulutnya membungkam dalam keheningan yang tercipta. Prayoga menatap Maura dikebisuan, gadis itu tampak masih menekan luka dan sakit yang begitu dalam.

"Papa harus menyampaikan sesuatu padamu, apa kamu mau mendengarkan?"

Embun pertanda dingin, memasukkan kebekuan di hati Maura yang hanya sekedar mendengar sekilas perkataan Prayoga tanpa sanggup menoleh.

"Ya Pa cerita saja, Maura akan mendengarkannya" Hatinya memanglah luka, patah, dan sakit, semangat dan energinya boleh saja hilang, namun ia sadar, kesantunan dan etika tak boleh lepas di luar batas sadar, itu yang selalu Irene sampaikan, "Hargai orang lain, maka kau akan dihargai"

"Ada yang papa dan Mama mu sembunyikan dari kamu tentang pernikahan kami"

Maura mendengar, namun ia tak berekspresi, ia masih menunggu kalimat lanjutan yang akan di sampaikan Prayoga padanya.

"Ini memanglah sulit untuk siapapun untuk menerimanya, tapi percayalah, Papa mencintai Mamamu, melebihi rasa cinta Papa pada istri pertama Papa"

Maura menoleh ke arah wajah Prayoga, ia memiliki sedikit energi untuk menatap pria yang berada di sampingnya, mata teduh Maura menatap penuh dengan kebingungan, dianya tak lagi bertanya.

"dan Papa memiliki anak seusia kamu, dia satu sekolahan bersamamu, papa harap, kamu bisa menerimanya sebagai saudara".

"Papa cerei dengan Istri pertama Papa?" tanya Maura yang mulai penasara atas penjelasan yang baru saja ia dengar

"Kami tidak bercerai Maura, Papa menikahi Mamamu, di luar sepengetahuan Istri dan anak-anak Papa"

Mata yang hampir beberapa hari itu menangis kini kembali sembab, siluet kelopak matanya kini terlihat mengecil, Maura menangis menyuara, namun tak ada air mata yang jatuh, barangkali tak ada lagi tersisa air mata untuk ia keluarkan bersama hati yang kembali sakit dari rentetan duka yang tak pernah lelah datang menyapa, ia nya hadir menghunus rasa hingga mungkin mengharapkan raga kehilangan nyawa. Maura terisak, menatap Prayoga, ada kebencian yang tak terungkap, ia menutup mulutnya dengan kedua tangan, tatapannya jatuh ke lantai, menekuk tubuh menahan sakit yang teramat sakit.

"Maafkan papa Maura, maafkan kami, demi Tuhan, tidak ada niat sedikitpun untuk menyakiti kamu, apa lagi mamamu, itu murni cinta yang hadir tanpa pernah papa tahu dan mengerti, papa jatuh cinta pada Mamamu, dan Mamamu mencintai papa, hingga akhirnya kami memperjuangkan cinta kami kepernikahan suci tanpa mengotorinya dengan sesuatu yang Tuhan benci"

Revenge and Love [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang