20. Pengakuan Dosa

6.3K 585 11
                                    

"Dan terus, kenapa lo kepikiran? dan kenapa kepergian dia sampe bikin lo uring-uringan?" Viena menatap Erlin, kalimat Erlin membuatnya tersentak, apa betul ia sedang memikirkan Maura.

[*]

Ujian akhir sekolah berlangsung dengan aman dan lancar, Viena menunggu Maura, yang beberapa waktu belakangan ini banyak menghabiskan waktu bersama Maleo.

"Nunggu bentar kenapa sih Vien, mungkin mereka masih di ruang musik" Lirih Erlin yang kini sibuk menggulir layar handphone.

"Ia tapi gue harus pulang, ntar malem ada party, Halter Dress gue belum disetrika, kamar gue berantakan, dan dia udah janji mau gantiin seprey tempat tidur, kalo ngaret gini, gimana kerjaannya bisa kelar " Dengan mengalihkan perhatian ke arah Viena, Erlin terlihat marah mendengar apa yang ia dengar barusan.

"STOP, memperlakukan Maura seperti pembantu Viena..!" Bukan sekali dua kali, Viena justru sering meminta dan menyuruh ini itu di sekolah, tamengnya yang seolah ingin berubah semakin mengundang kekesalan yang lainnya, Maura melebihi asisten pribadi, kemana Viena berada, ia ingin Maura mengerjakan hal sekecil apapun yang seharusnya bisa untuk ia kerjakan sendiri, seperti mencurah kecap, dan membelikannya minuman, lebih menyiksa saat Maura ia paksa untuk duduk sebangku dengannya, tak hanya memberikan contekan fisika, satu-satunya mata pelajaran yang Viena tak suka, bahkan untuk sekedar mencatat, Viena lebih senang Maura yang menyelesaikannya, beralasan tulisan Maura rapi, Viena bisa tidur saat jam pelajaran kosong dan Maura mendapati tugas mencatat. Erlin semakin jengah mengetahui kelakuan Viena, ia melangkah pergi pada sahabatnya yang beberapa kali diingatkan justru tidak memiliki itikad baik untuk berubah.

"Kok lo yang baper" dengan kacamata hitam yang masih melekat, Viena memperhatikan Erlin pergi meninggalkannya dari garasi parkiran sekolah, hingga tak jauh dari Viena berdiri. Viena melihat pemandangan yang semakin menaiki tensi darah ketika tangan Maura yang baru saja datang di tarik paksa Erlin untuk mengajak ia pulang bersama, Viena berlari ke arah mereka.

"Lu pada mau kemana?"

"Biar gue aja yang anterin Maura, biar dia nggak disiksa lagi sama lu?"

"Emang gue pernah nyiksa dia?, mukul dia aja gue nggak pernah" Viena memajukan langkah menarik lengan Maura yang satunya hingga menimbulkan ekspresi bingung.

"Seenggaknya dia nggak ngebatin lu perlakuin dia kayak pembantu" Tarik Erlin memaksa Maura untuk menepi, tak kalah bertenaga, Viena kembali menarik Maura kesisinya dan meminta gadis itu kebelakang tubuhnya menyergah, Maura tersentak, untuk kesekian kalinya lagi Viena kembali mengeluarkan bentakan kasar padanya. Ketakutan tak punya mata, Erlin tahu Viena tak bermaksud marah, meski dalam setiap pertengkaran, baru kali ini ia mengeluarkan nada sergahan yang tak bersahabat.

"kalau lu nggak berubah, Lu bakalan dapetin karma Vien, lu harus sadarin itu" Erlin berbalik pergi meluruhkan emosi yang jika di turuti akan semakin membesar.

"Kalian kenapa, kamu berantem sama Erlin?" Maura melihat kepergian Erlin melangkah menjauhi mereka

"Tau tuh, sok belain lu

"Belain aku? Memangnya aku kenapa?"

"Dia bilang nggak suka kalau gue perlakuin lo kaya pembantu, padahal lonya aja suka gue suruh ini itu" tanpa mimik bersalah, kalimat itu terlontar dengan santai, Maura membelalakkan mata tak percaya, disaat Erlin peka akan situasi yang ia alami, Viena justru merasa tak perduli.

***

Family room seperti biasa, setelah Maura membawakan Viena teh melati hangat, ia membenamkan diri di kamar Viena lalu keluar dengan omelan lirih dengan sungutan kesal, sebab setiap hari kenapa harus kamar itu yang selalu berantakan, lelah ia berpesan agar baju yang di gantung jika tidak digunakan masukkan kembali ke dalam lemari, bukan langsung di letakkan di tempat tidur atau di lemparkan ke lantai. Kertas-kertas yang sengaja tak ia masukkan kedalam tempat sampah yang berukuran besar pun seolah tak Viena anggap ada di kamar.

Revenge and Love [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang