54. Peaceful Heart

4.8K 494 46
                                    

Jadi bingung mulai dari mana, yaudah yang penting update ajalah, sorry kalau berantakan, ini dipaksain banget nulisnya, nunggu mood aku baik di tengah-tengah kerjaan yang numpuk dan nggak akan pernah ada selesai-selesainya, sementara story yang lain udah ngejerit banget minta diakhirin, kasihan juga nasib mereka.  "I also miss writing about Onci again, Oon emang..."

♡♡♡

"Maafin aku......

[❣]

Kenny menatap arah jarum jam saat menyadari Prayoga mengikutinya dari arah belakang.

"Sudah hampir satu bulan kita tidak berbicara lagi seperti biasa" Tanpa menghiraukan Prayoga yang mencoba bangkit tanpa bantuan, kaki dan tubuh nya berusaha ia gerakkan, Prayoga tak ingin berlama-lama bersandar pada bantalan empuk kursi roda, rasa sakit berlahan menghilang, mengayunkan langkah mencoba menikmati indahnya karunia sehat yang ia dapati selama proses penyembuhan.

"Mungkin kata maaf tidak akan pernah cukup untuk menebus dosa dan salah Papa"

Kenny sibuk memperhatikan layar komputer, merubah beberapa tab berselancar pada link yang secara asal ia klik pada meja kerja ruangan yang kini tampak terasa melebihi dingin dari apa yang sedang ia rasakan. Tak ada suara , sahutan maupun tatapan mata, rasa benci dan marah yang mengendap menjadi lahar panas yang siap ia muntahkan menjadi kalimat yang menusuk. Tanpa mengubris sedikitpun ia bergegas meraih cardigan pada bangku tak jauh dari sofa tamu, melintasi Prayoga yang berdiri tanpa mampu berkutik sedikitpun.

Prayoga memperhatikan Kenny, menyadari tatapannya tak beradu balas, Prayoga meraih jemari Kenny saat langkah nya terhenti, kedua bola mata mereka kembali bertemu, tampak merah menyala menahan amarah.

"Lepaskan...!!" satu kata tanpa pengecualian, Kenny melangkah pergi meninggalkan ruangan.

***

Vievi memperhatikan lukisan The Persistence of Memory, karya Salvador Dali pada dinding ruangan tengah tak jauh dari kamar yang bertemu langsung pada kitchen bar.

"Lukisan ini udah ada dari gue kecil" Sonia duduk menyilangkan kaki di atas kursi memperhatikan Larisan dan Vievi dari arah belakang seumpama seseorang yang sedang meratapi dinding, Sonia sibuk makan seraya mendengar kalimat demi kalimat yang keluar dari gadis yang kini berdiri tak jauh dari ia duduk.

"Dan gue selalu nanya ke Mama, maksud dari lukisan ini apa, dan gue baru tahu saat ada pagelaran seni di Sydney . Kalo lukisan Dali ini masuk ke dalam sepuluh besar karya terindah setelah lukisan Monalisa karya Davinci.

Larisa menoleh memperhatikan Vievie, matanya tak beralih, masih memperhatikan dengan lekat lukisan yang tepat di hadapan ia berdiri.

"Gue nggak pernah tahu jika Dali beraliran Surealisme. Hanya untuk tahu apa yang menghiasi dinding rumah gue, gue harus cari tahu sendiri tanpa bisa gue dapetin dari Mama, Lu taukan Sa, aliran Surealisme?" Vievi menoleh ke arah Larisa, sebagai mahasiswi seni acting, sekaligus penikmat art, rasanya mustahil jika Larisa tidak mengetahui apa yang Vievi tanyakan padanya.

"Ya, Aku tahu sedikit kak, tapi nggak terlalu mendalami, aliran itu identik pada penjiwaan, dan biasanya lebih spesifik, aku bisa dibilang hanya penikmat, sekaligus aktor, menjiwai seni drama iya, tapi jika sudah masuk ke cabang art painting, aku angkat tangan deh"

"Jam itu membentur menjadi satu, seumpama ada seseorang yang mencoba melawan waktu, disaat ia mampu, maka akan ada yang dikorbankan, jika tidak ada, jam itu tidak akan berubah bentuk menjadi remuk, dan itu yang gue lihat dari mama, dia tidak sedang bertarung dengan waktu demi sebuah pencapaian".

Revenge and Love [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang