2. I Don't Care

19.7K 1.4K 133
                                    

Mata teduh telaga menatap sekeliling kosong tanpa ekspresi, Maura tahu ia tidak sepenuhnya mengerti pergaulan, namun sunyi yang ia ciptakan membuat ia tahu bagaimana seharusnya bersikap, diam bukan berarti lemah, ia tahu kapan harus bertindak.

[*]

"Mmh, ohhh, uuuuughhhh !"

Suara desahan nanar terdengar Erlin melirik ke arah suara.

"Viena kan bikin ulah lagi, bagaimana bisa dia mendesah seperti itu??"

"Arghh, ouhhh, mmphhh, aaaaggh God.... aaaakhhh"

Erlin kembali menatapnya, bagi sebagian pria desahan adalah undangan berahi, sementara baginya, sebagai sahabat terdekat sekaligus wanita straight, dirinya merasakan kengerian ketika salah satu sahabatnya mengeluarkan desahan-desahan seperti yang Viena lakukan saat ini.

"Viennnaaa cukupp nggak..!!"

"Bentar Lin, pleasee dikit lagi. Oughhh, ahhh.."

Erlin terus memperhatikan Viena yang kini mengubah posisi sambil mengelap tubuhnya yang membasah oleh peluh.

Sialan seluruh mata mengarah menatap Erlin dan Viena secara bergantian

Viena bangkit melangkah, mengeluarkan sebuah kertas bertanda bahwa ia telah selesai menyelesaikan tugas.

"Ini pak, seratus yaah"

Pak Daniel, guru muda olah raga melotot tanpa suara, ingin menegur, namun sepertinya guru muda itupun sama seperti Erlin, merasakan malu untuk mengeluarkan kalimat teguran.

Ya, 'malu'

Viena melangkah berlenggok menarik ikatan rambutnya hingga tergerai, poni-poninya yang membasah akibat keringat ia tepikan kesisi kiri kuping, matanya memicing melotot kiri dan kanan tatkala para siswa pria yang memperhatikan ia sedari tadi tak bergeming.

"Apa lo liat-liat, ada masalah?"

Keterpakuan mereka kini tersadarkan kaget. Ada yang tiba-tiba tergamam. Ada pula yang dengan kilat menoleh membuang tatapan mereka yang sedari tadi kearah Viena mencoba menoleh kearah kiri kanan tanpa objek tujuan, tanpa ekspresi, tanpa sikap, para siswa itu bungkam tanpa sepatah kata

"Lu gila ya Vien...!"

Erlin menarik tangan Viena menuju tangga untuk menaiki lantai tiga kelas mereka

"Biarin, biar pria-pria itu tahu, kalau ngefree sexs tanpa modal kondom itu lebih menjijikkan"

Sial, Viena masih dengan pemikiran nya, bahwa semua pria adalah mesum.

"Lu kenapa sih, lu kalau nggak punya pacar dan belum pernah pacaran sampe detik ini jangan salahin cowo dong, lu sarep ya, cakep-cakep tapi gila...!!"

Viena mendesah, mengibas ikatan rambut bergerak kekiri kanan dengan PD, ia menggeleng memainkan kepala.

"Bukan salah cowo yang antri mau sama gue, gue nya yang gak suka sama cowo mesum"

"Bukan mereka yang mesum Vien, nggak usah ngurusin orang deh, coba lu ngaca, ngejudge aja kerjaan lu. Dan tadi juga, ngapain cuma ngambil nilai olahraga push'up harus ngeluarin suara ngedesah kaya gitu?"

"Ya nggak papa, emang ada larangan?, pak Daniel aja anteng-anteng aja tuh.."

Tak mengubris omelan Erlin, mereka melangkah melewati kelas 12 IPA. Erlin memperhatikan lirikan mata Viena berhamburan mencari sosok bayang rival yang amat ia benci, ya Maura Arumi, wanita nerd bermuka dua, asumsi penilaian Viena padanya

"Kok dia nggak ada sih Lin? biasanya jam pelajaran dia udah yang paling depan"

"Eh lu kaya nggak tau Maura aja, nggak ada guru udah pasti dia ke perpustakaan"

Revenge and Love [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang