"Indah" Telingaku terasa bergidik saat suara kecil dan bibir nya menyentuh kupingku. Kebahagian ku hanya melalui hal-hal sederhana yang ia cipta, dan diriku bisa begitu tersanjung karenanya.
[*]
Viena Pov
Maura menarik tanganku saat kami keluar dan berpisah dari kak Vievi di Leicester, di Jalan Hertsmere ia tak melepaskan genggaman tangan ku, seperti seorang bocah yang tak ingin terlepas pada balon gas yang ia miliki, ia takut aku terbang jauh, demikian aku yang tak inginkan ia bahkan hilang meski sesaat. Kami melangkah beriringan merasai suasana West India Quay memberi kedamaian bagi para pejalan kaki, bersama Maura aku bersyukur mendapatkan kesempatan tumbuh bersama di negara yang mendapatkan predikat 'Kota Terbaik di Dunia ini'.
"Masih jauh ya perjalanannya?" seperti anak-anak yang takut akan lelah, pada baju dingin mendekati musim salju, palto putih maura menjadi tempat ternyaman aku memeluknya sepanjang jalan.
"Nggak Vien bentar lagi, nggak jauh dari Canary Wharf kita udah sampai" Maura tersenyum, merasakan cengkraman jemariku yang memegang paltonya menahan dingin.
"Look at that, look at that, mulutku mengeluarkan asap" kami bersama saling tertawa, ini adalah pengalaman ketiga aku kembali dan kali ini jauh lebih berkesan, sebab aku bukan dalam misi liburan keluarga, melainkan akan tinggal bersama Maura hingga kami lulus kuliah.
"Stop, deh Vien, orang-orang lihatin kita?" Wajah Maura memerah, aku justru mencubitnya, ia lucu jika sedang menahan malu, tangannya masih terus menggenggam jemari-jemari ku dengan langkah kami yang saling beriringan, menatap setiap detail pemandangan, turis dan berbagai aneka wajah mancanegara, mulai dari face melayu, china hingga bule dengan baju yang menutupi tubuh mereka yang tampak berbahan tebal.
Pemerintah kota London sangat memperhatikan setiap detail bangunan-bangunan tua yang dibangun sejak puluhan hingga ratusan tahun yang lalu. Setiap sudutnya memberikan kesan klasik.
Aku menarik tangan maura dan menghentikan langkah kami, aku menatapnya sesaat di tepian hermitage, mata kami saling bertatapan.
"Kok berhenti Vien, kenapa?" Aku meletakkan kedua telapak tanganku tepat di kedua pipinya, piasan wajah penuh rasa penasaran dan tanya membalas tatapanku begitu dalam, satu kecupan bertambah pada rasa yang menuntut lebih membuat napas kami terhenti sesaat.
"Seni instalasi dan 3D projection Lumiere London , kamu tahu, itu ada di hadapan kita" Maura dengan sigap memutar kepala dengan cepat lantas menatap ke arah tempat yang barusan saja ku katakan padanya , ia menutup wajah seraya membersihkan air mata bahagia yang baru saja mengalir.
"Aku nggak percaya, ini seperti mimpi, ini nyatakan Vien" teriak Maura melepaskan ekspresi kekaguman yang tertangkap olehku.
"Kamu senang?" Ia mengangguk menarik tanganku untuk lebih mendekat, karena aku tahu, ini akan menjadi tempat seni terbaik bagi Maura melakukan penelitian dan study baginya yang begitu menjiwai akan seni.
"Viena, kamu seharusnya nggak cium aku di depan publik kaya gitu" wajahnya cemberut menarik narik kakinya yang terlihat mulai tak nyaman, aku memperhatikan boot tanpa haknya terlilit tali yang terlepas, masih dengan tersenyum aku membungkuk, mengikat kembali tali sepatunya yang terlihat tak beraturan. Awalnya ia kaget dan menarik kakinya kebelakang, aku justru memegang betisnya untuk diam.
"Selesai" aku tertawa berdiri tepat di sampingnya, ia lantas memelukku erat, ya, erat sekali, jelas saja aku membalasnya.
"Vien, terima kasih sudah terlahir ke dunia ini" Maura menatapku dengan intens, aku menggigil
KAMU SEDANG MEMBACA
Revenge and Love [Completed]
Teen FictionLove is like a bed of roses, which means love brings about two things pain and happiness. Rank #1 girlxgirl 25/10/18 Rank #1 girlxgirl 11/07/19