Mungkin saja untuk kebanyakan atau bahkan bisa dikatakan bagi setiap wanita hamil yang tengah mengalami keguguran. Maka, kesedihan mendalam pasti dirasakan.
Kepedihan juga akan tampak nyata pada buliran-buliran air mata yang terus mendesak keluar, sehingga turut menambah kesan berat untuk dapat mengikhlaskan bahkan merelakan tidak kunjung bisa dilakukan. Namun, semua terlihat tak berlaku untuk Dahayu. Tidak ada tangisan atau rasa terpukul yang ia tunjukkan akibat kehilangan calon anaknya dan Giri.
Lima hari telah berlalu, sejak dokter spesialis kandungan mengatakan bahwa tidak ada detak jantung dari janin berumur 11 minggu yang berada di rahimnya. Selama 48 jam pula Dahayu menghabiskan waktunya di dalam kamar tanpa kegiatan berarti atau bekerja. Ia harus istirahat total pasca melakukan kuretase.
"Aku pergi ke kantor dulu. Nanti jam satu siang aku pulang. Aku akan mengantarmu kontrol ke rumah sakit, Da. Kita pergi bersama." Giri berdiri di dekat sisian ranjang sebelah kanan yang ditempati istrinya.
Dahayu bisa mengartikan dengan baik maksud serta larangan dari Giri yang disampaikan dalam ucapan sok lembut sertajuga memuakkan tersebut, namun Dahayu pura-pura tidak mendengarkan dan mengabaikan dengan sangat sengaja.
Wanita itu memilih untuk fokus membaca file-file dokumen pekerjaan yang dikirimkan oleh pegawainya. Walau, pandangan Dahayu seolah-olah selalu tertuju pada layar laptop yang ada di atas meja lipat. Tetapi dari ekor matanya, ia masih mampu melihat jika Giri sedang menatapnya.
"Ada apa lagi? Bukannya tadi kamu bilang akan ke kantor? Silakan berangkat." Kali ini Dahayu bersuara dan membalas dengan sorot mata tajamnya.
Ia mengusir Giri dari kamar menggunakan kata yang lebih halus.Sebisa mungkin ingin segera menyudahi interaksi di antara mereka. Dahayu tak suka harus lama-lama terlibat percakapan dengan suaminya. Sungguh tidak dapat dilakukannya. Memandang pria itu dalam waktu yang lama akan menimbulkan dampak rasa muak yang semakin bertambah saja.
"Kamu belum memberi kepastian tentang permintaanku barusan, Da."
Giri sudah cukup memahami bagaimana karakter Dahayu. Saat wanita itu tak merespon ucapannya, dapat dipastikan pula arti penolakanlah yang ditunjukkan oleh Dahayu. Jadi untuk memastikan, ia mesti memperjelas sekali lagi.
Dahayu menghela napas panjang sembari memutar bola matanya dengan malas. "Aku masih bisa pergi kontrol sendirian. Lagian, ada Pak Ade yang bisa mengantarku ke rumah sakit nanti siang. Jika kamu tidak memperbolehkanku pergi sendirian."
"Silakan selesaikan saja semuanya pekerjaanmu di kantor. Aku tidak perlu perhatian yang berlebihan, meski kamu adalah suamiku, Giri."
Sebelum lanjut melontarkan kata-katanya, Dahayu memberi jeda sesaat seraya tak melepas tatapan tajam dan sinis pada sosok suaminya.
"Tanggung jawab di perusahaan lebih penting. Apalagi, kamu merupakan pewaris satu-satunya sekarang setelah Gristawan meninggal, 'kan? Bekerjalah dengan benar selagi kamu punya kesempatan emas, Giri."
Jika saja tak mengingat masa pemulihan yang tengah dijalani Dahayu, Giri setidaknya pasti akan terpancing untuk membalas sindiran wanita itu. Namun, ia berupaya mengesampingkan segala bentuk emosi yang mampu memperburuk hubungan mereka.
Selepas keguguran dialami istrinya. Giri masih merasa bersalah. Semua yang terjadi sampai hari ini karenanya juga. Hampir dalam kurun satu bulan terakhir, pertengkaran-pertengkaran memang kerap mengisi hari-hari mereka di rumah.
Secara tidak langsung percekcokan-percekcokan tersebut membawa dampak yang buruk bagi keadaan Dahayu sedang hamil. Giri lupa tentang hal itu. Ia menuruti egonya dan melayani setiap tuduhan serta sindiran yang Dahayu layangkan. Adu mulut tidak terelakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Yang Dibenci
General Fiction[Follow akun ini dulu agar bisa membaca part privat berisi adegan dewasa] "Kamu nggak akan membunuh anakku 'kan, Dahayu? Kamu boleh membenciku, tapi ti--" "Apa kamu pikir aku adalah ibu yang jahat dan tega membunuh calon bayinya sendiri?" "Jika pun...