BAB 29

2.7K 400 41
                                    


........

"Kayaknya lo semangat banget bisa balik ke Indonesia yak, Giri."

Wira meluncurkan guyonannya guna mengakhiri kekosongan dialog di antara dirinya dan sang adik ipar sejak masuk ke dalam mobil, sekitaran 15 menit lalu. Mereka berdua sedang melanjutkan perjalanan dari bandara menuju ke kediaman masing-masing, tepatnya Wira yang mengantar pulang Giri ke rumah.

"Mungkin bisa dibilang begitu, Bli. Hasil kesepakatan kerja sama di sini berjalan lancar. Rasanya beban kerja di pundak sedikit berkurang."

"Beban kerja berkurang atau lo lagi senang mau lepas kangen sama adik dan calon keponakan gue?" Wira masih tampak asyik mengisi obrolan dengan candaan ringan. Sekaligus membangun keakraban yang lebih erat.

Raut kekagetan terlihat jelas di wajah Giri. Tapi, ia dapat segera mengatasi dan kembali menunjukkan sikap tenang. "Bli Wira sudah tahu tentang kehamilan Dahayu? Maaf kami tidak memberi tahu secara langsung pada keluarga sebelumnya."

Wira mengangguk tipis. Ekspresi pria itu berubah menjadi serius. "Gue yang seharusnya minta maaf ke lo, Giri."

"Minta maaf soal apa, Bli?"

Wira masih setia memasang air muka seriusnya. Pria itu sudah bertekad jika akan memberi tahu sang adik ipar mengenai apa yang telah dialami oleh Dahayu satu minggu lalu.

Menurut Wira, Giri sangat berhak mengetahui. Walau, ia juga mengingat betul bagaimana kakak sulungnya sudah melarang agar tidak buka suara tentang pendarahan yang terjadi pada Dahayu.

"Di malam sebelum lo sama gue pergi ke Singapore. Adik gue ngalamin pendarahan. Untung calon keponakan gue nggak kenapa-kenapa."

Giri diam membatu. Ia benar-benar merasa terkejut. Giri tak menyangka sama sekali. Ia bahkan selalu berpikir jika keadaan Dahayu dan calon anak mereka baik-baik saja, selama dirinya berada di Singapura untuk urusan bisnis serta pekerjaan.

"Gue minta maaf, Ri. Gue dilarang Bli Wirya untuk kasih tahu lo tentang kejadian malam itu. Lo tahu sendiri kalau hubungan keluarga kita lagi nggak baik." Wira menambahkan.

Ya, Giri mengakui bahwa ia tidak bisa begitu sering berkomunikasi dengan Dahayu dikarenakan kesibukan yang padat di sana. Paling hanya sesekali saling bertukar kabar melalui pesan singkat. Dan detik ini juga, Giri pun diselimuti rasa bersalah. Ia tak dapat menjaga istri dan calon anak mereka secara benar.

"Tidak apa-apa, Bli." Hanya kata-kata tersebut yang mampu Giri jadikan sebagai balasan. Ia sedang tak dapat memikirkan hal lain, sosok Dahayu lah yang semakin terbayang-bayang jelas di kepalanya.

"Gue minta lo jangan pernah nyerah cepat buat pertahanin adik gue ya, Giri? Ada keponakan gue yang mesti kalian berdua pikirin." Wira berpesan sangat serius. Tepukan halus yang menyiratkan dukungan pria itu lantas berikan di bahu kanan adik iparnya.

"Saya tidak akan menyerah ataupun membiarkan pernikahan kami jadi korban karena masalah kerja sama dan bisnis keluarga."

.............

Rasa kantuk yang cukup berat mulai menyerang Dahayu. Namun, wanita itu terus menunda waktu tidurnya. Ia masih menanti kepulangan Giri dari luar negeri. Dahayu merasa sangat merindukan sosok suaminya.

Hampir lima hari belakangan, yakni selepas mendapat perawatan secara intensif di rumah sakit selama dua hari, wanita itu pun harus rela menghabiskan waktu seorang diri di rumah. Dahayu menolak tinggal di ke kediaman kakak sulungnya. Terlebih, hubungan mereka sedang tidak baik.

"Giri...," gumam Dahayu pelan pasca mendapati sosok sang suami sedang berdiri di hadapannya. Ia sendiri tak menyadari kapan tepatnya Giri tiba di rumah.

Suami Yang DibenciTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang