Giri tak ingin sedikit pun menyentuh secangkir kopi hitam yang disajikan 10 menit lalu oleh seorang asisten rumah tangga di kediaman orangtua angkatnya. Ia semakin tidak nyaman akan suasana canggung dan terasa begitu serius di antara dirinya dengan sang ayah angkat, Pak Genta.
Ketegangan sangat jelas diperlihatkan Giri lewat gestur tubuh dan raut wajah yang tanpa disertai ekspresi apa pun. Sementara, perasaan tak tenang mulai menyelimutinya. Giri sendiri tidak tahu mengapa dirinya merasakan hal yang demikian.
Dan sosok Dahayu terus terbayang di dalam benaknya. Giri benar-benar berharap jika istrinya itu akan baik-baik saja, meski mereka sedang tidak berada di tempat yang sama. Tapi, firasatnya seakan bertolak belakang.
"Bagaimana kabarmu, Nak?" Pak Genta memulai percakapan bersama putranya dengan sedikit formal. Tak mampu menciptakan secepatnya keakraban.
Sudah hampir dua bulan lebih mereka tidak saling bertatap muka secara langsung. Penanganan proyek-proyek berskala menengah dan besar di Bali menjadi tanggung jawab penuh Giri. Sedangkan, Pak Genta beserta mengurus bisnis lainnya di ibu kota dan luar negeri.
"Saya baik, Pak. Apa Bapak sudah tetap kontrol kesehatan jantung ke rumah sakit selama di Jakarta?" Giri menunjukkan perhatiannya sebagai seorang anak.
"Bagaimana dengan beberapa kerja sama perusahaan bersama mitra yang lain?" Pak Genta mengalihkan topik pembicaraan. Tak menjawab apa yang ditanyakan putranya. Sorot keseriusan terpancar dalam sepasang mata beliau.
"Sampai sejauh ini masih berjalan lancar, Pak." Giri belum bisa merasa nyaman. Kekakuan terlihat jelas dari caranya berbicara dan bersikap.
"Bagaimana dengan pembangunan hotel yang melibatkan perusahaan milik keluarga Dahayu? Sudah selesai sampai dimana?" Pak Genta langsung menyasar pada bahasan yang memang ingin beliau rundingkan bersama sang putra.
"Telah mencapai 90%, Pak. Mungkin dua bulan lagi pembangunan hotel ditargetkan selesai."
Tatapan serius belum tampak ingin Pak Genta sudahi beliau perlihatkan pada sang putra. "Lebih cepat, lebih baik. Bapak juga sudah tidak berniat menjalin kerja sama bisnis dengan pihak yang hanya mau memanfaatkan perusahaan kita saja."
Giri sangat paham benar mengarah kemana pembicaraan mereka, tapi ia memilih bertanya sekali lagi, "Apa yang sedang Bapak maksud?"
"Dalam pembangunan hotel bintang lima itu, perusahaan mengalami rugi mendekati kisaran 20%." Kedinginan terselip jelas dalam suara Pak Genta. Beliau pun dapat menangkap raut kekagetan yang nyata di wajah sang putra saat ini juga secara tak sengaja.
"Bapak sudah mengetahui semuanya, Giri. Jangan coba menyembunyikan semua lagi dari Bapak hanya demi melindungi keluarga istrimu." Pak Genta meneruskan ucapan disertai dengan nada peringatan."
"Saya tidak ber-"
"Bercerailah dengan Dahayu. Ini bukan permintaan, tapi perintah dari Bapak untukmu, Nak. Demi keluarga dan keutuhan perusahaan. Mereka tak akan pernah pantas berbesan dengan keluarga kita." Pak Genta akhirnya sampai pada titik poin yang utama.
Tubuh Giri membeku seketika. Pria itu tidak pernah menyangka jika ayah angkatnya akan berkata demikian. Ia tak mampu menurut dengan perintah ayahnya kali ini. Apa pun alasannya. Giri tidak akan dapat mengorbankan pernikahan mereka.
"Maaf, saya tidak bisa, Pak. Dahayu sedang hamil. Kami berdua tidak bisa bercerai." Giri belum menyiapkan kata-kata yang tepat sebagai bentuk pembelaan. Ia hanya dapat berkata jujur sekarang. Berharap sang ayah akan mengerti.
"Kalau begitu, bercerailah saat nanti anak kalian sudah lahir. Bapak akan pastikan hak asuh jatuh ke tanganmu, Nak. Bapak tidak akan pernah sudi, jika cucu Bapak diambil alih oleh mereka."
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Yang Dibenci
General Fiction[Follow akun ini dulu agar bisa membaca part privat berisi adegan dewasa] "Kamu nggak akan membunuh anakku 'kan, Dahayu? Kamu boleh membenciku, tapi ti--" "Apa kamu pikir aku adalah ibu yang jahat dan tega membunuh calon bayinya sendiri?" "Jika pun...