Remasan tangan Giri pada telepon genggamnya kian menguat bersamaan dengan emosi yang juga semakin berkecamuk hebat dalam dirinya. Api amarah terus membara. Ia tak pernah merasa semarah ini sebelumnya.Giri pun ingin secepatnya mencari pelampiasan. Segala bentuk amarah yang mulai menelan secara perlahan kerasionalan dan kelogisan diriya ketika berpikir harus diredam agar tak semakin berlanjut.
"Gue dapat kabar, Erig baru sore tadi berangkat ke Singapura. Pantas lo nggak bisa hubungin dia, Ri," beri tahu Gandhi pada sang sahabat, selepas menerima pesan kiriman dari salah satu temannya yang mengetahui keberadaan Erig.
Rahang wajah Giri seketika terlihat mengeras. Tatapannya yang sedang tertuju ke sembarang tempat kembali menajam. Tinjuan cukup keras lalu ia loloskan di bagian stir mobil.
Pengendalian diri yang coba Giri bangun tak kunjung bisa ia dilakukan dalam waktu singkat, apalagi saat Erig masih menjadi penyebab utama dari mengobarnya amarah yang pria itu rasakan."Sial!" Sebuah umpatan diluncurkan Giri tanpa sadar. Ketenangan seakan tidak dapat lagi ia terapkan.
"Bagaimanapun caranya. Lo harus bantu gue supaya bisa ngomong sama Erig. Gue butuh penjelasan dari dia."
Gandhi mengiyakan permintaaan dari Giri. Ia pasti akan membantu, hanya saja dirinya masih tak percaya dengan semua yang terjadi di antara dua sahabat karibnya. Dan demi diperoleh kebenaran, permasalahan ini pun mesti diselesaikan segera.
"Kalau Erig memang punya dendam karena perbuatan gue yang dulu. Apa dia harus balas pakai cara kayak gini?"
"Sial!" umpatan penuh kemarahan diloloskan Giri untuk yang kedua kalinya.
"Gue benar-benar nggak nyangka Erig bisa segininya berkhianat ke gue. Apakah dia ingin memanfaatkan kebencian Dahayu ke gue?" tanya Giri lirih. Entah pertanyaan tersebut ditujukan untuk Gandhi atau ia hanya berniat sebatas mengeluarkan apa yang mengganggu di kepalanya.
"Dahayu...," Giri menggumamkan nama istrinya dalam nada kekecewaan yang tak bisa ia tangguhkan. "Baru kemarin dia bilang kalau mau ngasih gue kesempatan buat buktiin gue nggak bersalah."
"Gue juga bahkan rela cuma dijadiin sebagai pengganti Awan supaya dia mau belajar cinta sama gue." Giri teringat kembali dengan kata-kata Dahayu yang hingga sore tadi masih membuat dirinya berani berharap.
"Tapi, kenapa balasan yang gue terima harus kayak gini banget? Apa perbuatan gue yang dulu-dulu itu jahat dan buruk yang keterlaluan? Sampai-sampai gue harus menerima karma sebegininya sekarang?" Giri merenung. Mungkin kesalahan bukan terletak pada orang lain, namun merupakan karma yang harus ia terima.
Gandhi masih terus memerhatikan sahabatnya yang kini terlihat begitu terpukul, meskipun sedari tadi ia lebih banyak diam dan mendengarkan keluh-kesah Giri. Tetapi, ia putuskan untuk bicara kali ini. Mengeluarkan sedikit pendapatnya.
"Gue sama lo udah sahabatan baik dengan Erig dan Baskara sejak kita SMA. Baik lo atau mereka berdua sudah gue anggap kayak saudara sendiri. Terlepas dari masalah yang berhasil hancurin persahabatan kita berempat."
"Gue merasa kalau gue cukup tahu gimana aslinya sifat dan kepribadian Erig. Jujur saja, gue belum bisa percaya kalau Erig lakukan semua ini buat balas dendam sama lo, Giri. Gue bukan maksud buat bela Erig."
"Terus menurut lo, tujuan dia yang sebenarnya itu apa? Karena dia cinta Dahayu atau gimana?"
"Kalau mereka memang saling cinta gue yang bakal mundur. Erig nggak seharusnya main licik gini di belakang gue." Giri terpancing cepat akan ucapan Gandhi. Hatinya terasa kian memanas karena api cemburu.
"Gue yakin banget kalau istri lo nggak mungkin bisa cepat cinta sama Erig." Gandhi pun menyimpan maksud tersirat dalam ucapannya.
"Menurut lo, ada yang Dahayu cari dari Erig? Sampai-sampai dia mau nyerahin dirinya?" Giri melempar pertanyaan balik untuk sahabatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Yang Dibenci
Aktuelle Literatur[Follow akun ini dulu agar bisa membaca part privat berisi adegan dewasa] "Kamu nggak akan membunuh anakku 'kan, Dahayu? Kamu boleh membenciku, tapi ti--" "Apa kamu pikir aku adalah ibu yang jahat dan tega membunuh calon bayinya sendiri?" "Jika pun...