BAB 18

4.1K 454 18
                                    


Giri berjalan dengan langkah gontai masuk ke area ruang tamu yang tidak terlalu diterangi cahayu lampu. Meski demikian, ia masih dapat menangkap sosok Dahayu yang tampak tengah duduk di salah satu sofa. Giri lantas melangkah menuju istrinya berada.

"Belum tidur, Da?"

Dahayu langsung melepas headphone yang ia gunakan ketika suara Giri memasuki dua telinganya. Wanita itu pun lalu menghentikan kegiatannya mendengarkan musik klasik dan bangkit dari sofa.

"Belum. Aku nunggu kamu. Kenapa jam 10 malam baru pulang? Habis dari mana setelah menghadiri rapat? Aku tadi menelepon, tapi nomormu tidak aktif."

"Maaf, aku pulang malam. Tadi rapatnya sampai jam 8. Terus mampir ke bar Gandhi sebentar," jawab Giri jujur. Pertemuan hari ini dengan Baskara, membuat pikirannya sedikit kacau. Ia memutuskan meminta solusi dari Gandhi.

"Kamu minum di sana?" Dahayu bertanya agar kecurigaannya segera terjawab.

Giri menggeleng. Faktanya di bar, ia tidak menyentuh minuman beralkohol barang sedikit pun. "Aku cuma ke sana untuk membicarakan sesuatu dengan Gandhi."

Hanya itu yang dapat ia katakan pada Dahayu saat ini. Dan mengenai kedatangan Baskara, Giri belum siap memberi tahu istrinya. Bukan karena merasa takut, dia lebih memikirkan kondisi Dahayu yang tengah hamil. Giri tidak mau jika kembali terjadi hal yang buruk dengan calon buah hati kedua mereka nanti.

"Sudah makan?" Dahayu mengganti topik pembicaraan. Ia memercayai ucapan suaminya. Sebab, Dahayu sendiri tidak mencium bau bir atau minuman sejenis di sekitarnya.

"Sudah tadi sama anak-anak di kantor, selesai rapat. Apa kamu masak makan malam untukku, Da?" tanya Giri iseng.

"Tidak, Giri."

"Kalaupun sudah dibuatkan. Aku siap makan lagi masakanmu, Da." Giri lalu mengeluarkan guyonan. Akhir-akhir ini ia tidak sungkan mengajak Dahayu bercanda lagi.

"Besok saja aku buatkan ya? Kamu 'kan tidak biasa makan di atas jam 9 malam."

Giri menganggukkan kepala guna mengiyakan ucapan istrinya. Senyum bahagia tercetak di wajahnya. Dahayu memang selalu memiliki daya magnet tersendiri baginya. Terutama ketika suasana hati sedang memburuk, Giri hanya perlu memandang wajah cantik istrinya, maka perlahan-lahan ia dapat meraih ketenangan kembali.

"Kamu mau makan apa untuk sarapan besok?"

"Mungkin enak kalau sarapan dengan bubur ayam yang pernah kamu buat untukku saat aku sakit." Giri memberi jawabannya.

Kuluman senyum Dahayu semakin terlihat bersamaan dengan anggukan yang ia lakukan atas permintaan dari suaminya. "Akan aku masakkan besok pagi."

"Makasih, Da." Seperti biasa, Giri menyalurkan afeksinya dalam bentuk usapan halus dan lembut di rambut Dahayu beberapa.

"Sekarang mending kamu tidur, Da. Soalnya besok kamu harus bangun lebih pagi daripadaku untuk masak bubur ayam terenak,"saran Giri kemudian.

"Tidak." Dahayu belum melepaskan tatapan dari suaminya. "Aku akan menunggu kamu selesai mandi dan sembahyang."

"Apa ada yang ingin kamu bicarakan denganku, Da?" Perasaan was-was mendadak menghinggapi Giri.

Sedikit rasa takut mulai muncul di dalam diri pria itu. Terutama tentang masa lalu yang berkaitan dengan Baskara dan kematian saudara kembarnya. Pikiran-pikiran negatif terus memenuhi kepala Giri.

"Iya. Ada yang ingin aku bicarakan."

"Masalah apa, Da?" sahut Giri cepat.

Dahayu menatap lebih lekat mata suaminya, namun ia tidak melihat kejanggalan di sana. "Masalah anak kita. Bayi yang dalam kandunganku."

"Kenapa dengan anak kita, Da? Perutmu sakit lagi?" Kecemasan kini dirasakan Giri.

"Tidak." Dahayu memindahkan dua tangan secara naluriah ke wajah suaminya. Ia hanya tersenyum tatkala menangkap kekagetan Giri karena perlakuannya. "Perutku tidak sakit. Baik-baik saja."

"Lalu apa yang terjadi, Da?" Giri lantas meraih tangan-tangan Dahayu, kemudian menggenggamnya.

"Tadi, aku googling. Aku membaca sebuah artikel. Katanya ikatan batin antara bayi dalam kandungan dan orangtuanya bisa semakin kuat kalau sering diajak berkomunikasi." Dahayu menjelaskan, akan tetapi belum mengutarakan maksudnya pada Giri.

"Aku belum pernah melihatmu melakukan komunikasi dengan anak kita. Saat kehamilan pertama juga begitu."

Giri meloloskan tawa tepat setelah ia bisa memahami ucapan istrinya. "Jadi ini yang ingin kamu bicarakan, Da?"

"Iya." Dahayu memilih membalas singkat. Namun, ia melanjutkan kata-katanya lagi, "Kita harus belajar untuk memperbanyak komunikasi dengan anak kita, Giri."

"Karena saat kehamilan pertama, aku tidak terlalu menaruh perhatian pada bayi dalam kandunganku. Aku tidak ingin mengulangi kesalahanku," ucap Dahayu jujur. Ia terbawa perasaan.

Giri mengangguk mengerti. "Iya, Da. Aku bisa menyapa anak kita sekarang 'kan? Tidak perlu menungguku selesai mandi."

"Silakan." Sepasang mata milik Dahayu menampakkan binarannya.

"Tapi, aku merasa sedikit canggung, Da. Mungkin belum terbiasa," ungkap Giri tentang apa yang sedang ia rasakan.

Dahayu segera melepas genggaman suaminya. Lalu, mengambil salah satu tangan pria itu dan menempatkan di atas perutnya. "Kalau ingin terbiasa, kamu harus mau mencobanya."

Giri menghela napas panjang guna memperoleh ketenangannya kembali pasca dihinggapi ketegangan yang datang dikala tak diundang.

"Malam, Nak. Maaf kalau Ayah tidak pernah menyapamu. Jangan marah ya sama Ayah. Di sini, Ayah dan Ibu menyayangimu." Giri merangkai kata demi kata tersebut dengan spontan, namun kasih sayang terdengar nyata dalam suaranya.

"Kayak gitu, Da?" Pria itu kemudian meminta pendapat istrinya.

Senyum Dahayu mengembang cepat ketika memerlihatkan anggukannya. Ia menyukai suasana yang tengah melingkupi mereka. "Besok aku ada jadwal periksa kandungan untuk mengetahui detak jantung janin. Apa Kamu mau menemaniku, Giri?"

"Bisa, Da. Bagaimana sepulang dari dokter, kita kencan sebentar?"

Salah satu alis Dahayu terangkat naik, sebab ia tidak mengerti akan pertanyaan suaminya. "Kita mau kencan?"

Giri mengangguk semangat. "Benar, aku ingin mengajakmu berkencan. Kamu bilang akan belajar untuk mencintaiku 'kan, Da?"

"Aku pun harus bisa membuatmu yakin kalau aku memang benar-benar serius dengan perasaanku. Jadi, aku berniat mengajakmu kencan," imbuh Giri.

Lagi-lagi senyum Dahayu belum dapat hilang. Ia bahkan mengeluarkan tawa tanpa dirinya sendiri sadari. "Kamu mau mengajakku pergi kemana?"

"Hmm, masih aku rahasiakan. Kamu cukup mengikuti besok, Da. Semoga kamu akan menyukainya."

.................

Suami Yang DibenciTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang