BAB 14

4.6K 447 35
                                    


Pergantian hari demi hari begitu cepat terjadi. Dahayu merasa bahwa baru saja ia mengetahui dirinya sedang mengandung, tapi kini kehamilannya telah menginjak minggu ke-10. Tidak terasa memang perjalanan waktu.

Tersisa ketakutan dalam diri Dahayu jika membicarakan mengenai kondisi janin dan rahimnya. Hal tersebut tak terlepas dari pengalaman keguguran saat mengandung anak pertamanya, ia sedikit dihantui rasa trauma yang masih membekas.

Namun untuk saat ini, setidaknya Dahayu dapat bernapas lega karena menurut pemeriksaan dokter, calon anaknya dan Giri dalam keadaan yang baik. Belum ditemukan permasalahan serius. Ia pun berharap sesuatu yang buruk tak akan pernah menimpa kandungannya lagi.

Sejumlah perubahan pada tubuh juga turut Dahayu alami, terutama perut yang mulai tampak membesar dan kenaikan berat badan, meski tidak signifikan. Sejak satu minggu terakhir, nafsu makan Dahayu cenderung meningkat. Tak terkecuali malam ini.

Sepiring ayam betutu serta plecing kangkung menjadi menu yang ingin sangat dirinya santap. Dahayu pun sudah berpakaian rapi dan siap pergi untuk makan. Wanita itu memakai sweater warna merah lengan panjang, celana jeans tak terlalu ketat, serta flat shoes putih.

"Kamu mau kemana, Da?" Giri meluncurkan pertanyaan yang sama setiap kali ingin mengetahui tempat dan tujuan istrinya pergi.

"Aku ingin membeli makanan sebentar," jawab Dahayu sembari memasukkan ponsel dan dompetnya ke dalam tas kecil yang akan ia bawa keluar.

"Di mana?" Giri kembali bertanya. Ia memerhatikan Dahayu yang sedang duduk di depan meja rias.

Wajah tanpa polesan make up wanita itu tetap bisa membuatnya terpesona. Kecantikan Dahayu tampak alami dan ia mengaguminya. Mungkin waktu yang singkat tak akan cukup baginya untuk memandang Dahayu.

"Di rumah makan langganan kita bertiga dulu. Beli ayam betutu."

Giri mengingat betul tempat yang dimaksud Dahayu. Sebab ia, wanita itu, dan Gristawan sering nongkrong di sana jika ingin menyantap makanan khas Bali. Tapi, Giri tak pernah makan ke tempat tersebut lagi sejak saudara kembarnya meninggal.

"Sekarang sudah jam 9, Da. Apa masih buka?"

"Iya. Masih," balas Dahayu singkat. Wanita itu telah selesai dengan kegiatannya barusan.

"Boleh aku ikut menemanimu ke sana?" Giri meminta. Ia cemas jika harus membiarkan istrinya pergi pada malam hari dalam kondisi hamil.

"Boleh. Asal kamu mau makan ayam betutu denganku." Senyum tipis diukir Dahayu.

"Aku ingin sate lilit, bukan ayam betutu," candaan Giri keluar tanpa direncanakan.

"Benar. Aku lupa kalau kamu tidak suka ayam betutu."

Giri lantas tertawa pelan melihat ekspresi istrinya yang begitu khas saat mengingat-ngingat sesuatu kembali. Khususnya di sini tentang makanan yang tidak ia sukai.

Kerinduan akan momen seperti ini selalu Giri rindukan, dimana Dahayu tak memandangnya dengan sorot kebencian, walau tatapan wanita itu juga tidak memancarkan adanya rasa cinta. Namun, keteduhan yang mulai terlihat lagi pada mata Dahayu sudah cukup baginya.

"Ada apa, Da?" Giri langsung bangun dari tempat tidur dikala menangkap raut kesakitan dan suara ringisan dari Dahayu. Ia menghampiri istrinya itu dengan cepat.

"Kenapa, Da? Perut kamu sakit?"

Dahayu hanya mengangguk lemah untuk menjawab pertanyaan yang tujukan padanya. Sementara, kedua tangan Giri telah berada di masing-masing lengan istrinya dan menuntun wanita itu untuk duduk di tepian ranjang.

"Apa kita perlu ke dokter?" Giri belum mampu juga menyembunyikan kecemasannya.

Dahayu menggeleng. "Tidak perlu. Aku tidak apa-apa. Cuma sedikit kram. Jangan khawatir," jawab wanita itu dengan nada pelan.

"Apa sering kram?" Giri memastikan. Ia lalu mengambil tempat di sebelah kiri istrinya.

"Tidak. Baru sekarang." Dahayu membalas jujur. Kram yang terasa pada perutnya perlahan berkurang.

"Yakin kita tidak perlu perika ke dokter, Da? Aku takut ka—"

Ucapan Giri terputus karena remasan halus Dahayu di tangannya. Tatapan wanita itu juga mengisyaratkan agar dirinya tak panik atau gusar. Giri pun menurut dan coba mengesampingkan rasa cemasnya.

"Aku tidak apa-apa. Sudah aku bilang jangan khawatir." Ekspresi wajah datar diperlihatkan Dahayu. Berbeda dengan sorot matanya yang tampak menghangat ketika beradu pandang.

"Aku hanya tidak ingin mengulang kesalahan yang sama. Aku tidak mau kamu mengalami keguguran untuk yang kedua kalinya." Pengungkapan dari ketakutan diluncurkan Giri.

"Kamu mengalami keguguran anak pertama kita karena kesalahanku yang fatal. Aku ta—"

"Percayalah kalau aku dan calon anak kita tidak akan apa-apa." Dahayu meyakinkan.

"Apa kamu ingin lanjut pergi dan makan ayam betutu, Da?" Giri beralih ke pembicaraan lain supaya obrolan mereka tidak terputus dan menambah durasi waktu kebersamaan yang jarang terjadi.

"Tidak. Entah kenapa seleraku makan ayam betutu hilang. Sekarang aku ingin makan nasi goreng ayam buatanmu kayaknya enak."

"Nasi goreng buatanku?" Giri seolah tak percaya akan ucapan istrinya.

Anggukan tanpa ragu dilakukan Dahayu. "Iya. Nasi goreng buatanmu yang pernah kamu masakan saat aku ngidam pada kehamilan pertama."

Senyum Giri melebar. Secercah rasa bahagia menghampirinya. "Sekarang kamu juga lagi mengalami ngidam 'kah, Da?"

"Kayaknya begitu," jawab Dahayu tidak berbohong. Ia sendiri kadang masih susah memahami dirinya yang kerap gampang berubah mood dan keinginan.

Tangan kanan Giri bergerak menuju kepala Dahayu, kemudian mengusap dengan lembut rambut wanita itu guna menyalurkan afeksi yang berlangsung secara spontan. Tidak ada penolakan dari Dahayu, meski tak tampak reaksi juga ditunjukkannya.

"Aku akan membuatkanmu nasi goreng. Tapi, mungkin rasanya akan sedikit berbeda. Aku sudah lama tidak memasak."

"Terima kasih, Giri."

....................

Suami Yang DibenciTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang