BAB 24

2.4K 372 29
                                    


Maaf kalau ada typos. Hehe.

..........

"Apa yang lo bilang itu nggak benar 'kan, Giri? kita saudara kandung? Punya Ayah dan Ibu yang sama?"

Dion tentu bermaksud mengonfirmasi pemberitahuan tak menyenangkan yang baru saja diperolehnya siang ini pada pertemuan mereka di rumah Giri, sang kakak sepupu. Atau mungkin telah berganti status menjadi saudara kandungnya. Ia sendiri masih tak bisa memercayai segala hal yang didengarnya.

"Benar atau tidak, Giri?" Dion coba kembali memperjelas dengan suara yang terselip oleh emosi tertahan.

Giri masih menunjukkan sikap tenang tak mau terpancing. Sebab, ia dapat mengerti bagaimana sesungguhnya keterkejutan sedang melanda Dion.rasanya Ia juga pernah berada di posisi ini sebelumnya. Wajar rasanya jika Dion memerlihatkan reaksi yang emosional.

"Dengerin penjelasan gue dulu, Yon."

"Gimana gue bisa lanjut dengerin penjelasan dari lo kalau gue sendiri nggak yakin apa yang lo bilang itu benar!" Dion kian meninggikan nada suaranya saat membalas. Bertolak belakang dengan matanya yang mulai tampak tergenangi oleh cairan bening.

"Gue cuma ingin ngasih tahu yang sebenarnya ke lo, Yon," balas Giri apa adanya. Ia tidak memiliki kata lain lagu untuk dijadikan sebagai pemanis tambahan.

Dion lalu membuang pandangan ke sembarang arah supaya tidak harus berlama-lama melihat kejujuran terpancar begitu jelas dan nyata pada mata sepupunya itu. Ia belum mampu percaya. Semua masih tak masuk akal dan terasa sangat mendadak baginya.

"Sorry, gue nggak bisa percaya apa yang lo katakan, Ri."

"Gue tahu kalau lo butuh waktu buat nerima kenyataan ini, Dion. Dulu gue pun sama. Gue nggak percaya."

Giri mengungkapkan apa yang ia pendam dan rasakan selama ini. Dan karena dirinya lebih tua dari Dion, sudah sepatutnya pula ia tak lelah memberi pengertian akan kenyataan yang ada.

"Kematian Grista merupakan pukulan terberat buat gue, Yon. Gue ngerasa nggak punya saudara lagi. Tapi gue seneng kalau lo dan Bli Adi adalah saudara kandung gue juga. Gue nggak sendiri." Giri melanjutkan ceritanya. Setetes air mata jatuh ke pipi pria itu tanpa diundang karena teringat kembali dengan kematian saudara kembarnya.

"Apa di dalam keluarga cuma gue yang nggak tahu soal masalah ini? Kenapa Bapak dan Ibu nyembunyiin semua ini dari gue, Giri?!" Dion belum mampu meredam emosinya. Bukan disebabkan oleh kemarahan, tapi lebih pada rasa kecewa.

"Mereka punya alasan yang kuat. Intinya mereka hanya ingin membuat kita berempat bahagia. Percaya sama gue, Yon. Lo nggak boleh nyalahin Bapak atau Ibu." Giri terus berupaya menenangkan adiknya.

Kali ini, Dion tak kuasa menahan air matanya tak tumpah. Walaupun tidak terlalu deras. "Gue sedih. Ri. Gue benaran nggak nyangka kalian itu kakak-kakak kandung gue."

"Apalagi sama Awan. Sampai dia meninggal pun, gue nggak tahu kalau Awan itu saudara gue, Ri," lanjut Dion. Ia pun menutup wajahnya agar tak ketahuan jika tengah menangis. Ia tidak ingin tampak lemah.

"Awan pasti tahu kalau selain gue, dia juga punya lo dan Bli Adi sebagai saudaranya." Giri menepuk pelan bahu sang adik. Ia tak mau ikut terisak. Dirinya harus terlihat tetap kuat di luar. Meski di dalam hati, luka tersayat nyata.

"Lo jangam jauhin gue ya, Yon? Gue nggak punya saudara lagi selain lo dan Bli Adi. Lo harus selalu kasih gue dukungan sebagai saudara," pinta Giri secara sungguh-sungguh. Ia hanya ingin harapannya ini akan mampu disanggupi.

Dion langsung menolehkan kepala ke arah dimana Giri berada. "Gue mana mungkin bisa jauhin lo, Ri. Lo itu saudara gue. Dalam keadaan apa pun gue bakal usahain selalu dukung lo."

"Makasih, Yon."

"Gue cengeng banget nangis gini di depan lo, Ri. Padahal bentar lagi gue bakal punya anak dua." Dion mencari topik pembicaraan lain yang lebih ringan. Mereka tak harus berlama-lama terlarut dalam suasana yang menguras emosi dan perasaan.

Giri mengulas senyum tipis. Merasa bisa kembali rileks. "Gue juga bakal jadi bapak. Dahayu lagi ngandung anak kedua kami. Baru hamil tiga bulan." beritahunya.

"Seriusan lo, Ri? Riana juga usia kehamilannya juga tiga bulan. Wah, jangan sampai nanti anak gue sama lo lahirnya barengan," canda Dion.

"Boleh juga. Mungkin bakal heboh keluarga kita," tanggap Giri dengan nada santai.

"Haha. Semoga dah. Astungkara," ujar Dion semakin tampak bersemangat.

Suasana di antara mereka sudah tak setegang tadi. Setidaknya itulah yang dirasakan Dion, berbeda halnya dengan Giri. Kecemasan melandanya lagi, meskipun tadi ia sempat bisa mengambil sikap rileks.

"Yon, apa lo mau bantuin gue? Selain Gandhi, gue percaya sama lo." Raut keseriusan terlihat di wajah Giri.

Dion menganggukkan kepala tanpa ragu. "Bantuin apa, Ri? Gue bakal siap."

"Baskara menjebak gue bunuh Awan. Padahal gue sama sekali nggak pernah menginginkan kematian dia, Yon. Apa lo bisa percaya sama ucapan gue ini?" Terdapat sorot keraguan dalam dua mata Giri bahwa Dion akan memercayai kata-katanya.

"Lo dijebak ngebunuh Awan? Baskara itu bukannya sahabat lo, Ri?"

"Dulu dia emang sahabat gue. Tapi, nggak buat sekarang, Yon. Dia udah hianatin gue. Dia juga bikin gue kehilangan Awan. Dan sampai-sampai Dahayu benci banget sama gue karena mengira gue benaran bunuh Awan." Ada kilatan emosi di sepasang mata Giri yang tercipta.

...........................

Suami Yang DibenciTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang