1

3.3K 349 13
                                    

"Halo!"

Suara derik pintu yang memengkakkan telinga, benar-benar mengagetkan pemuda itu. Untungnya, ia sudah terbangun sejak matahari terbit untuk menghirup udara segar yang teman gadisnya itu belum pernah cicipi sedetikpun.

"Kau ingin apa, Yeri?"

Matanya menangkap sebuah siluet mungil langsing yang melewati punggungnya, menit berikutnya yang terdengar hanyalah suara hempasan sofa yang mengeluarkan udara akibat seseorang telah mendudukinya. Diikuti desahan nafas seorang gadis yang akhir-akhir ini menemani hari Jungkook.

"Aku tidak ingin apa-apa, kak."

"Air putih saja ya?"

"Hmm.."

Derik pintu kini berganti dengan derik kursi meja makan. Gadis itu masih enggan membuka mata yet sudah menegakkan punggungnya di kursi kayu murah tanpa sandaran. Mengangguk lemah tatkala sebuah gelas berisi air disodorkan dihadapannya, agak menguntungkan bagi Jungkook yang sigapnya sudah duduk dengan bersandar dagu dihadapan Yeri. 

Menatap penasaran wajahnya, yang justru terlihat semakin cantik begitu matahari menampakkan betapa kusutnya surai karamel gadis itu 

"Berangkat sekolah seperti biasa?"

"Kuantar seperti biasa?"

"Aku harus memakan hoodie dan masker seperti biasa?"

"Ingin kusiapkan makan siang seperti biasa?"

Tak peduli sudah ribuan kosa kata terlontar dari bibir Jeon Jungkook, kalau ia beruntung maka ia akan mendapat balasan sebuah anggukan mungil. Kalau tidak, maka angin akan menjawabnya.

Bukannya Jungkook memiliki standar kesabaran yang tinggi--setinggi langit, namun melihat kondisi Kim Yerim yang tampaknya memiliki kepribadian tertutup--rasa penasarannya terhadap gadis itu sudah pasti akan dibalas oleh rumput bergoyang.

"Jadi.." 

Jungkook mengulum bibirnya, bingung bagaimana memecah keheningan diantara mereka. Mengingat sang gadis kini sudah membuka matanya lebar, tak membiarkan pemuda itu menilik sedikitpun manik matanya. Yeri lebih memilih menyibukkan diri dengan mengusap-ngusapkan jemarinya di permukaan kaca gelas yang lebih sejuk daripada suhu pagi itu.

"Seragammu sudah kusiapkan. Kita bisa langsung berangkat setelah kau mandi." Jungkook tahu betul sang gadis sangat membencinya, terlebih seperti sekarang--soal bagaimana Yeri menjengit kesal tatkala pemuda itu menyusupkan tangannya di puncak kepalanya. Mengacak surainya lembut sebelum meninggalkan gadis itu kembali dalam lamunannya.

Tidak.

Bagaimanapun Jungkook adalah orang tertua di rumah itu. Sekalipun Kim Yerim bersikap seolah menolak kehadirannya sejak seminggu terakhir--sejak mereka bertemu, disitulah tanggungjawab Jungkook.

Ia harus mengambil alih peran orangtua bagi gadis itu.

Sekalipun ia tahu betapa besar tanggungan dosanya di neraka nanti.

*************************

"Another trouble?"

"Yup."

Kedua pemuda itu kini saling melepas tawa, di tempat satu-satunya dimana mereka bersembunyi dari pelanggan.

"Aku hanya tak mengeri kenapa banyak sekali orang kaya yang super arogan.." Eluh Jungkook, melepas apronnya yang sudah tiga jam terakhir menjadi penyebab peluhnya yang menetes tanpa ampun.

"Sudah hampir hidup 20 tahun di bumi dan kau baru tahu fakta itu? Kemana saja kau Jeon Jungkook?!" Balasan yang tak kalah seru dari sahabatnya--Kim Minggyu, memang selalu menaikkan mood pemuda bermarga Jeon itu.

"Maka dari itu aku tak pernah bisa berteman dekat dengan mereka. Aku terlalu polos untuk intrik licik mereka."

"Cih. Polos katamu?"

"Hei. Aku terhitung polos untuk standar hidupmu tahu!"

Pemuda bergigi kelinci itu seketika tak punya alasan lain untuk berdebat dengan Kim Mingyu. Jadilah pemuda itu memutuskan mempersingkat waktu istirahatnya dan melayani segerombolan paman buncit yang hobi marah-marah,  daripada ia lebih disudutkan oleh sang sahabat.

 Dan lagi, detik berikutnya ia sadar betapa seharusnya ia bersyukur pemuda berkulit tan itu masih bersedia mendampinginya sekalipun Mingyu sadar betul cara Jungkook mendapatkan uang sangat dekat dengan kata kriminal.




"Jam berapa kau akan menjemput 'adik'mu?"

Seolah semakin meninggikan kadar arogan mereka, Jungkook hampir saja menarik kerah mereka satu persatu dan menampar wajah jelek mereka begitu dirinya mendapat serangkaian sumpah serapah tatkala tak sengaja menumpahkan sepercik sup ketika menyajikan pesanan mereka.

Batasnya, orang-orang boleh menyebutkan berbagai nama binatang di wajahnya. Bahkan, jahanam takkan membuat emosinya melonjak.

Dan ketika seseorang sudah mulai kesal akan reaksi dirinya dan mulai merambat soal keluarga..

 Jeon Jungkook juga tak punya alasan untuk marah.

"Setengah jam lagi. Terima kasih sudah mengingatkan."

Mendapati sang sahabat yang tiba-tiba sudah menarik pantatnya untuk duduk di meja sebelah kompor--jatah kerja Mingyu, pemuda semampai itu masih menampakkan senyum tipisnya setelah mendengar penekanan lafal 'adik' yang baru saja Mingyu lontarkan.

"Ayo kita pergi. Kau sudah dapat uang banyak 'kan sejak minggu lalu? Dirumah Yeri? Kau harus mentraktirku!" Usaha Mingyu menghibur kini bahkan melenyapkan seulas senyum yang berhasil ia ciptakan di wajah pucat Jungkook.

"Hei.. Kau punya adik perempuan 'kan?"

"Yup."

"Doyeon sering menganggapmu tidak ada?"

"Sejak pubertas. Dia bahkan jijik padaku. Tenang saja, semua kakak beradik seperti itu."

"Oh.."

"Tapi kurasa, kau tidak bisa menyebutkan kasusmu ke kategori yang baru kusebutkan."

"Huh?"

"Kurasa satu-satunya cara menghancurkan benteng Kim Yeri adalah nyawa balas nyawa."

Little Do You KnowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang