"Bye!"
Kim Yerim sungguhan tak mengerti apa yang merasuki tubuh pemuda itu, yang saat ini bahkan menjadi satu-satunya pengantar siswa yang masih melambaikan tangannya. Sekalipun seluruh siswa sudah masuk bus dan sang sopir telah bersiap menggerakkan kendaraannya, gadis itu tak bisa melepas tatapannya pada sang sosok asing bertubuh bongsor yang rupanya mampu menjaganya dengan sangat baik seminggu ini.
Matanya tak lepas meniti manik mata Jungkook yang begitu besar dan berkilap, senyuman yang rasa-rasanya seperti swalayan 24 jam. Yeri menyebutnya seperti itu karena setiap kali matanya bertemu dengan pandangan teduh pemuda itu, Jungkook seperti sudah menyetting otaknya untuk selalu memasang senyuman terhangatnya. Selalu saja sukses membuat Yeri mengalihkan tatapan, ia benci seseorang yang terlalu menyukai keberadaannya.
Dengan masih memangku bungkusan lusuh kimbab, sebuah perasaan aneh menyusup dalam tubuhnya.
Dia tahu persis, perilaku Jeon Jungkook saat ini tak berbeda jauh dari kehidupannya seperti biasa. Secerah dan sehangat matahari fajar, seolah berusaha sekuat mungkin untuk menutup luka gadis itu akibat kejadian masa lampau yang melibatkan dirinya.
Namun, Yerim sadar.. Jungkook menjadi satu-satunya pengantar yang masih ada disitu. Disaat seluruh supir pribadi pengantar sekolah teman-temannya telah lenyap begitu sang majikan turun dari mobil, Jungkook masih disitu. Seperti pegawai swalayan, ia tak pernah melepas senyumnya meski saat ini mata Yeri hanya mampu melihat titik bayangnya yang semakin lenyap dimakan jarak.
"Kau menangis, Kim Yerim??" Buntalan busa disisinya kini mengeluarkan hempasan udara, seseorang telah duduk di sisi Yeri.
"Ah." Kalau saja gadis asing itu tidak mengatakan, Yeri mana mungkin sadar ada sebuah bulir likuid yang siap menitik dari bulu matanya. Terburu, ia kini mengusap kasar kedua matanya. "Aku tidak menangis kok."
"Akhirnya kau mau bicara juga padaku."
"Huh?" Baru sadar kenapa suara itu terdengar sangat familiar dengannya, Yeri justru terjengat kaget bukan kepalang.
"Lama sekali rasanya.." Saeron kini menyandarkan seluruh punggungnya, memejamkan matanya erat. Menikmati kehadiran sang sahabat yang akhirnya agak mau membuka diri setelah beberapa saat terakhir. Dan tentunya sikap dingin Yeri agak menyiksa dirinya.
"Pergi saja kau. Aku tidak ingin bicara." Gusar, Yeri kini melipat tangannya di depan dada. Membanting kasar punggungnya dan mengarahkan wajahnya ke jendela, ia benar-benar tidak mood untuk bicara pada siapapun.
"Siapa bilang aku ingin mengobrol? Aku hanya ingin tidur karena semua bangku penuh." Saeron kini memajang senyum kemenangannya, disaat Yeri mendegus sebal sebelum membiarkan sang sahabat mengisi ruang kosong di kursinya itu.
********
"Berani taruhan, ini kali pertama kau ke pantai 'kan?"
Siapa suruh kedua orangtuanya selama ini sibuk mencari harta dunia?
Nyatanya, Yeri bahkan menyadari besarnya dunia ini ketika sudah mengenal Jungkook. Saat orangtuanya telah meninggal.
"Kau juga 'kan?"
"A--aku pernah kok." Balas Saeron gugup, tapi masih berdiri di sisi Yeri. Menikmati panasnya sengatan matahari pantai yang sukses membuat ruam kemerahan di kulit manusia yang tak berlapis sunblock.
"Kapan? Dengan siapa?" Meski masih dalam tahap dimana hubungan mereka sedikit renggang, Yeri tahu betul sahabatnya itu persis sama dengan dirinya di masa lampau--tidak ada bedanya dengan puluhan murid kaya yang saat ini justru mengeluhkan panasnya pantai. Sibuk mencari tempat berteduh untuk memainkan ponsel keluaran terbarunya, bukannya bermain bola seperti anak normal lainnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Little Do You Know
Hayran Kurgu"Tinggal dengan seorang yang tak seharusnya tahu soal rahasiamu, tentunya kau juga harus jadi pribadi yang lain 'kan?"