"Seno, bagaimana keadaan restoran hari ini?" Setelah menuruni beberapa anak tangga, aku memutuskan berbicara sebentar kepada orang yang menjadi tangan kananku.
"Baik Pak Adrian. Pesanan daging sapi juga sudah dikonfirmasi akan diantar besok." Aku mengangguk sambil melihat penjuru ruangan yang kursinya sudah berada di atas meja. Beberapa pekerja membawa peralatan sapu, kemoceng dan pel untuk menjalankan tugas akhir mereka pada hari ini sebelum meninggalkan restoran.
"Kalau begitu, saya pergi terlebih dahulu. Jangan lupa mengunci semua pintu."
"Baik Pak."
Restoran ini adalah milikku. Usaha yang aku jalankan dengan bantuan Abi. Sudah hampir 4 tahun aku mengelolahnya dan tidak sia-sia saat mengetahui bahwa terdapat 50 cabang restoran lagi seperti ini di kota-kota besar Indonesia.
Awalnya Abi ingin aku meneruskan bisnisnya dalam bidang perhotelan. Tapi aku menolak, bukannya aku ingin menjadi anak durhaka, hanya saja aku akan merasa sangat bersalah saat mengambil pekerjaan dimana Abi sangat menyukai bidang itu. Abi juga tidak bisa dikatakan masih tua untuk ukuran pria paruh baya.
Karena itu aku mencoba mendirikan restoran sendiri yang awalnya semua modal ditanggung oleh Abi. Meskipun harus melewati masa-masa sulit namun akhirnya usahaku bisa berkembang dan bersaing dengan tempat makan terkenal lainnya. Modal yang Abi berikan juga sudah mampu kukembalikan.
Saat menginjakkan kaki di luar ruangan, aku baru menyadari bahwa hujan masih turun rintik-rintik. Segera tas kerjaku kumasukkan dalam mobil dan mengunci pintunya. Hari ini aku ingin menggunakan sepeda motor yang sangat jarang aku gunakan. Untung saja kendaraan itu terakhir kali aku letakkan di bagian belakang restoran.
Motor ninja hitamku melaju dengan cepat di jalanan yang sudah sepi. Warnanya memang hitam karena aku yang memintanya. Aku tidak ingin dibilang bodoh oleh orang lain saat mengatakan bahwa sepeda motorku berwarna hitam atau putih tapi nyatanya berwarna mencolok lainnya.
Saat munculnya fenomena pelangi tadi sore, entah kenapa membuatku ingin lebih bersahabat dengan hujan. Jika bisa, setelah aku menjadi teman baiknya mungkin dia bisa mengurangi intensitas datangnya pelangi yang sebenarnya memang mengangguku. Hal itu yang mendasari aku memakai motor kali ini.
Jika Umi sampai mengetahuinya, mungkin serentetan kata-kata akan dilontarkan dengan cara cukup pedas. Beliau sangat menyayangiku, bahkan setetes air hujan saja tidak diperbolehkan menyentuh kulitku jika akhirnya membuatku sakit. Aku sangat menyayangi beliau.
Jalanan basah cukup lengang karena jam yang sudah menunjukkan pukul 11 malam. Segera kupercepat kecepatan sehingga menimbulkan lonjakan tajam pada spidometer. Apa hari yang mulai malam juga tidak menyurutkan aktifitas polisi? Aku tidak ingin repot-repot memikirkannya, lagipula surat-suratku lengkap.
Ada dua hal yang sangat aku benci. Teriakan melengking seorang gadis yang mengatakan, "berhenti ...," dengan sangat panjang. Dan kucing yang menyebrang jalan tidak memerhatikan sekitar. Tanganku dengan reflek membanting setir ke arah kiri, membuat debaran jantung menjadi secepat pukulan drum. Jalanan beraspal yang diselimuti genangan air adalah media yang sangat buruk saat tiba-tiba motorku terpeleset dan akhirnya terjatuh dengan gesekan yang mencapai 5 meter.
Aku tahu tidak boleh mengatakan ini, tapi sialan. Bagaimana ada kucing dan seorang gadis pada jam malam seperti ini? Karena aku memakai helm dan menggunakan jaket motor dengan kaki yang terlindungi celana sampai sepatu kulit, kecelakaan ini tidak bisa dikatakan cukup parah. Tapi berbeda dengan telapak tanganku yang tidak terlindungi, goresan kasar antara kulit dan aspal sudah berhasil membuatku merasakan perih saat tangan kiriku di penuhi cairan berbau anyir di permukaan luarnya.
Sisi jaket sebelah kiriku robek parah karena merupakan tumpuan dominan saat terjatuh. Sedangkan yang lain mungkin bisa dikatakan baik-baik saja meskipun beberapa sendiku rasanya mati rasa.
"Maafkan aku. Maafkan Sissy juga. Maaf. Maaf. Maaf." Aku sedang terduduk menenangkan diri setelah melepas helm dari kepalaku saat gadis dengan setelan gaun rumahan selutut datang menghampiri sambil menggendong kucing sialan yang membuatku jatuh seperti ini.
Aku mematung sejenak saat mataku bertatapan dengan sepasang mata gadis itu. Tanpa menjawab aku langsung berdiri dan memakai lagi helmku. Tubuhku terasa nyeri saat dipaksa bangkit setelah mengalamai relaksasi sejenak. Motor hitam yang tergeletak 2 meter dariku segera aku berdirikan dan segera kunaiki, pergi dengan cepat. Terdengar teriakan kata maaf yang masih melantun dalam telingaku, tapi motorku lebih cepat untuk membawaku pergi dari keadaan itu.
Gadis itu, dengan gaun hijaunya selutut. Kalung berliontin leaf pendant. Dan sepatu flatshoes yang juga berwarna senada, membuat tubuhku bergetar.
Ada satu hal yang tidak diketahui semua orang dariku termasuk Abi dan Umi. Aku memang penderita buta warna total yang langka. Tapi sepertinya hanya kasusku saja yang bisa seperti ini. Selain hitam dan putih, hijau adalah warna lain yang 5 tahun lalu datang secara tiba-tiba dalam kehidupanku yang kemudian menghilang dalam jangka waktu 1 bulan. Dan baru saja warna itu telah kembali.
Hijau, seperti gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Efemeral
RomanceAku seorang yang biasa, dan dia sempurna. Kami mempunyai jalan yang berbeda tapi kedua garis berliku itu akhirnya dipertemukan di simpangan kecil yang merupakan satu dari sekian banyak takdir Tuhan. Nyatanya tidak semua hal akan terus berjalan baik...