2-ALLONA

3.1K 178 7
                                    

Suara mesin mobil yang tidak asing membuatku teralihkan dari tanaman philodendron yang sedang kupindahkan menuju pot berbahan dasar tanah liat. Sekejap saja tanaman itu terbengkalai saat tanganku melepas sarung plastik yang melindungi dari kotoran, kemudian berlari kecil menuju pintu dan menemukan Mike dengan setelan kerja-kemeja dan celana hitam-yang masih menempel di tubuhnya.

"Ada apa Ana?" Senyuman lebar terlihat di wajah Mike. Aku mendengus. "Bukannya tadi kamu mengirimkan pesan tidak bisa menjemput hari ini karena ada rapat?"

Lelaki di depanku dengan tidak ada rasa bersalah malah terkekeh. Tangannya merangkul pundakku dengan lembut dan menggiring menuju ke dalam toko.
"Rapatnya ditunda. Entahlah, kata atasanku ada sesuatu yang lebih penting dari rapat ini." Mike mengangkat bahu seolah tidak peduli. Aku tidak terlalu mempermasalahkannya, yang penting dia ada di sini bersamaku.

Mike adalah kekasihku. Kami telah menjalin hubungan dengan jangka waktu sangat lama, sekitar 3 tahun. Dia bukan laki-laki kaya yang dapat membelikanku hadiah mewah. Dia juga bukan laki-laki paling tampan yang diidolakan banyak perempuan. Karena dia adalah Mike, sahabat sekaligus sosok yang selalu ada untukku. Itulah mengapa aku memilihnya.

Mike duduk di salah satu bangku yang disediakan Taman Surga Impian. Mataku dengan cepat beralih ke papan balok yang permukaannya sudah diperhalus dan tergantung tepat di atas meja administrasi. Di sana tertulis jelas 'Taman Surga Impian'. Itu adalah nama tokoku. Sangat klise sampai membuatku tertawa saat memikirkannya. Mike saja pernah berkomentar, "apa ini tidak terlalu panjang untuk nama sebuah toko?"

Sejujurnya aku tidak keberatan. Aku tidak masalah jika banyak orang yang susah membacanya atau sulit menghafalnya karena 3 kata yang cukup panjang itu.

Taman Surga Impian. Pertama kali aku mendapatkan ide untuk membuka toko tanaman hias karena kecintaan Mama pada taman. Hal yang sama yang membuatku menyukai warna hijau. Mama tidak lagi bersamaku saat ini. Tubuhnya sudah terbaring tertidur pulas di dalam peti, mungkin raganya sudah lenyap, tetapi jiwanya telah abadi bersama Bapa di Surga.

Setiap kali memasuki toko, aku selalu membayangkan bahwa inilah keindahan yang diimpikan oleh Mama. Inilah kedamaian yang sering diceritakan Mama. Memang sangat jauh jika disandingkan dengan Surga seperti rumah Bapa yang terdapat Takhta Allah di dalamnya, tapi setidaknya aku menemukan sesuatu yang tidak bisa kutemukan di luar sana, rasa hangat dan kasih sayang Mama yang seakan memancar membentuk energi positif.

Tokoku juga memiliki Green House yang berukuran 6x5 meter dibelakngnya, hadiah terakhir dari Papa sebelum akhirnya juga menyusul Mama. Papa ... Mama ...

"Ana ... apa kamu melamun?"

"Ah ... kenapa Mike?" tanyaku gelagapan saat Mike menatapku dengan kerutan di dahinya.

"Aku hanya bertanya, sudah makan?" Bagaimana aku tidak mencintai lelaki yang saat ini tengah memberikanku perhatian dengan tatapan lembutnya yang juga menyiratkan kekhawatiran? Yesus, aku sangat mencintainya.

"Sudah, tadi aku menggunakan jasa antar. Baiklah kalau begitu akan kubereskan kekacauan ini baru kita pulang." Tanganku mulai mengangkat bermacam-macam pot yang tergeletak di lantai karena niatan awalku yang ingin memindahkan beberapa tanaman. Setelah mengetahui Mike sudah berada di sini, mungkin aku bisa menundanya sampai besok pagi.

Aku menunduk, memunguti tanaman hias yang sebagian sudah tertata dengan cantik. Mike menyusul di sampingku sambil kedua tangannya memegang sapu mini dengan cingkrak kecil. Tubuhnya yang besar terlihat tidak cocok saat berjongkok sambil membersihkan ceceran pupuk dan tanah yang mengotori lantai. Tapi aku hanya membiarkan dan memberikan senyuman tipis kepadanya.

Setelah semua pekerjaan selesai dan Taman Surga Impian terlihat bersih, aku mengajak Mike pulang. Seperti yang telah kukatakan sebelumnya, Mike bukan orang kaya. Mobil yang kami tumpangi hanya sebatas sedan bekas dengan warna hitam yang sedikit beset di bagian tertentu. Mungkin hatiku sudah buta, karena aku tetap mencintainya. Nyatanya aku tidak kabur dan lari saat dia hanya bisa memberikan tumpangan pada mobil bekasnya.

Aku sedikit khawatir, apa perasaanku ini wajar? Apa ini memang cinta? Atau sekedar pemaksaan hati yang membuat otakku harus mengirimkan rangsangan perasaan cinta?

EfemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang