"Kau bercanda?" Tubuhku berdiri tegak saat mendengar suara panggilan di sebrang.
Kakiku terlalu lemas untuk menopang dan sasaranku adalah meja kerjaku. Ditambah asupan makanku yang akhir-akhir ini tidak rutin semakin membuat tubuhku rasanya ingin melayang dan kehilangan kesadaran.
Tapi tidak boleh, tidak.
"Jangan bercanda denganku sialan."
...
"Dimana?" Setelah mendapatkan serentetan alamat, aku keluar dari ruanganku dan segera menuju mobil.
Aku menginjak gas dengan gila, membuat banyak cacian pengendara lain yang ditujukan untukku. Aku tidak peduli, yang kuinginkan hanya Allona, hanya melihat Allona.
Apa-apaan semua ini? Pasti perkataan Mike hanya sekedar kebohongan saja.
Seminggu yang lalu, Allona memutuskan untuk pergi. Kepergiannya yang tanpa kabar membuatku seperti orang tidak waras yang mencarinya ke penjuru daerah. Ponselnya tidak aktif bahkan Mike tidak mengetahui keberadaannya.
Aku tidak tahu apa ini ada hubungannya dengan kunjungan terakhir Allona ke rumahku yang terlihat murung. Aku juga sudah jarang berdebat dengan Umi, karena beliau mendiamkanku. Dan Allona tiba-tiba saja menghilang.
Tidak ada perpisahan, dia membawa pergi rasa yang masih ada di hatiku. Aku hancur, tentu saja. Walaupun masalah masih terbentang di depan mata, aku masih tetap mencintainya dan diam-diam mengharapkan agar kami ditakdirkan untuk bersama. Dan kali ini, aku menjadi seorang pria yang tidak becus saat mengetahui Allona sedang tidak baik-baik saja.
Kurang lebih setengah jam aku sudah sampai di tempat yang menjadi tujuanku sedari tadi. Warna tembok dengan cat putih membuatku merinding, apalagi banyak keriuhan yang tercipta akibat banyak orang yang berada di sana.
Aku memasukinya dengan perlahan, dalam benakku aku berharap agar Allona baik-baik saja. Agar tidak terjadi apa-apa dengannya. Tapi aku tahu itu hanya sekedar harapan bodoh yang tidak terbukti.
"Adrian." Merasa terpanggil, aku menoleh ke arah kiri dan menemukan Mike. Lelaki itu yang memberitahu bahwa Allona ada di sini, sedang berbaring di salah satu ruangan di dalam tempat ini.
"Apa yang sebenarnya terjadi dengan Allona?" Aku mengucapkan dengan sangat pelan, bahkan aku takut mendengar jawabannya.
Mike menggiringku masuk tanpa menjawab. Dia menuntunku di antara banyaknya orang agar dapat menuju ke ruangan Allona.
"Mike kau bercanda? Jangan bercanda denganku. Ini semua hanya akal-akalan kalian bukan? Jawab aku brengsek." Aku mencekal kerah kemeja Mike, dan tidak mendapat respon. Tubuhku luruh, bersamaan dengan air mata yang keluar dengan perlahan.
Aku mencoba menahannya dari tadi. Mendatangi rumah duka dengan banyaknya orang yang berpakaian hitam adalah hal yang tidak pernah ada dalam pikiranku. Terlebih lagi, di depanku, di sebuah ruangan berwarna putih, terdapat peti berwarna coklat keemasan yang tertidur dengan kokoh.
Aku tidak mau membayangkan siapa yang tertidur di dalamnya, karena yang aku inginkan hanya bertemu dengan Allona. Allonaku.
Mike tidak bergerak, isakan tangis muncul dalam bibirnya, dan aku menjadi tidak berdaya saat melihat bingkai dengan foto yang sangat aku kenali. Wajahnya tersenyum lebar, guratan kebahagiaan terpancar di matanya, dan di lehernnya menggantung lionting leaf pendant.
Tiba-tiba ada seorang wanita paruh baya yang menghampiri kami, beliau menyuruhku untuk masuk dan melihat ke dalam peti.
Aku tidak bisa, tapi aku harus memastikan. Dan di sanalah dia terbujur kaku dengan gaun putih yang terpasang indah di tubuhnya. Matanya terpejam dengan damai seakan menikmati ruang tidur yang dia ciptakan sendiri. Terdapat memar di beberapa bagian, tapi aku masih bisa mengenalinya.
Saat itu juga, duniaku telah diambil. Cahaya hijau yang menyilaukan mataku telah pergi selamanya. Gadis dengan air hangat madu dan jahenya menghilang, tidak akan pernah kembali.
Aku menunduk. Aku sudah menangis tadi, dan seharusnya kali ini jangan lagi. Allona tidak akan menyukainya.
Tapi saat aku mendapat tepukan di bahu kiriku dan mendengar kata-kata Mike, "dia sangat mencintaimu," saat itu juga tangisanku tidak bisa dibendung, keluar dengan sendirinya meratapi kesedihan yang menggerogoti hati.
Allona tidak boleh pergi. Tidak. Aku baru mendapat kebahagiaan dengannya tapi Tuhan sudah mengambilnya. Aku baru saja akan bersatu dengannya tapi takdir merusak segalanya. Aku tidak mau akhir seperti ini, aku tidak menginginkan ini.
"Allona ..., aku di sini. Kamu enggak kangen sama aku, sayang? Kamu kok pergi tanpa kabar? Sayang ... sayang ...." Tetesan air mata kini menjadi luapan yang mengucur dengan sangat deras. Berapa kali pun aku menganggilnya, sekuat apapun suaraku menembus pendengarannya, dia tidak akan pernah kembali. Allona sudah pergi, meninggalkanku, di dunia monokrom ini. Allona meninggal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Efemeral
Roman d'amourAku seorang yang biasa, dan dia sempurna. Kami mempunyai jalan yang berbeda tapi kedua garis berliku itu akhirnya dipertemukan di simpangan kecil yang merupakan satu dari sekian banyak takdir Tuhan. Nyatanya tidak semua hal akan terus berjalan baik...