Suara pintu yang terbanting dengan keras adalah pelampiasan diriku yang pertama. Aku berjalan dengan cepat dan duduk di belakang meja kerja. Beberapa menit yang lalu, meja ini sudah rapi karena niatku yang sudah ingin pulang tapi kali ini aku mengacaukan dengan membuka laptop dan mengambil berkas sembarangan.
Aku tahu, cepat atau lambat ini akan terjadi. Bagaimanapun akan ada waktu di mana aku akan dipertemukan dengan orang yang menyematkan ikatan pada jari Allona, tapi tidak pernah kubayangkan akan menjadi secepat ini. Namanya Mike, dan seperti yang dia katakana bahwa dia adalah tunangan Allona.
Dari awal aku sudah berani bermain api maka aku harus berani untuk terbakar. Jangan mengira bahwa aku tidak bisa melihat apa yang ada di sela-sela jarinya. Aku melihatnya, aku tahu ada cincin yang tersemat di sana. Dan menjadi sangat bodoh saat hatiku lebih memilih untuk mendekatinya mengalahkan akal sehatku yang sudah berteriak bahwa dia sudah ada yang punya.
Tidak hanya itu. Aku seakan membuat pengelihatanku buta saat bersamanya. Aku dengan keras mengabaikan tanda Salib yang tergantung di telinga kanan dan kirinya. Aku terkekeh masam. Seorang non-Muslim.
Selama ini aku mengetahui semuanya tapi aku berkeras untuk membuat mereka tiada. Awalnya hanya sekedar balas budi untuk penyampaian terima kasih karena Allona memberikan warna hijau pada hidupku tapi aku tidak bisa mencegah saat perasaan nyaman mulai tumbuh dan menghilangkan pikiran warasku yang sudah jelas banyak hal yang membuat kami tidak bisa di jalan yang sama.
Hanya karena liontin leaf pendant, membuat tanda Salib dan lingkaran cincin menjadi tidak berarti. Tapi semua berubah saat Mike dengan berani muncul di hadapanku dan menyatakan dirinya adalah pemilik sesungguhnya atas Allona. Semua hal yang selama ini aku anggap buram dalam diri Allona mulai menampakkan diri dengan jelas.
Kini, aku tidak bisa lagi melihat Allona tanpa memandang jari manis tangan sebelah kirinya. Kini, aku tidak bisa lagi melihat Allona tanpa memikirkan anting-anting Salib yang menghiasi daun telinganya. Semua itu membuatku tersenyum miris.
Aku sudah berjalan terlalu jauh. Membiarkan Allona masuk dengan pintu yang dengan sadar telah aku buka sepenuhnya untuk dia. Membuatku bodoh dengan menyambut dia dengan suka rela. Mengobrak-abrik semua hal dalam hidupku hingga pikiranku.
Cukup sampai di sini. Cukup aku mempermalukan diriku sendiri. Jika memang Allona adalah orang yang mengeluarkanku dari dunia monokrom, maka seharusnya aku hanya menganggap dia sebagai orang baik. Tidak perlu bertingkah lebih. Tidak ada lain kali.
Aku berjalan mendekati kaca bening yang menampilkan jalanan yang tidak lagi seterang seperti beberapa jam yang lalu. Matahari akan terbenam tapi awan mendung dengan egois menutupinya lebih awal, membuat sisa-sisa sinar mentari tidak bisa menembus bumi.
Rintikan masih turun dengan bersahutan. Aku menghela nafas. Aku membenci hujan yang akan mendatangkan pelangi, aku juga merasakan hampa setiap pergantian pagi dan malam hari. Kali ini aku ingin bertepuk tangan saat takdir membuatku merasakan semua ini bersamaan dengan hadirnya Mike di hadapanku.
Lalu apa aku harus membenci Mike? Itu adalah alasan egois dari hatiku yang sudah seharusnya tidak perlu aku hiraukan. Tidak ada lagi hati yang berkuasa saat ini. Otak dan kewarasanku yang akan mengambil ahli, membenarkan kesalahan fatal yang telah aku perbuat.
Allona seharusnya hanya akan menjadi Allona. Orang baik yang kebetulan menolongku. Orang baik yang hanya mendapat ucapan terima kasih singkatku. Hanya orang baik yang tetap menjadi orang asing. Seharusnya begitu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Efemeral
RomanceAku seorang yang biasa, dan dia sempurna. Kami mempunyai jalan yang berbeda tapi kedua garis berliku itu akhirnya dipertemukan di simpangan kecil yang merupakan satu dari sekian banyak takdir Tuhan. Nyatanya tidak semua hal akan terus berjalan baik...