5-ADRIAN

1.9K 170 2
                                    

Pagar yang menjulang tinggi otomatis terbuka saat motorku sudah berada di depannya. Pak Nanang, atau satpam rumah mungkin masih mengenali motorku walaupun sudah lama tidak pernah kupakai jika pulang.

Setelah mengucapkan sederetan kata terimakasih yang singkat aku segera masuk dan memarkirkan kendaraan secara asal. Dengan keadaan pakaianku yang basah karena tetesan air hujan, aku masih tidak bergerak dari tempatku. Mataku menyapu halaman rumah dan menemukan warna selain hitam dan putih.

Rerumputan yang terawat rapi dan disinari lampu-lampu hias, pohon palem yang menjulang tinggi dengan batu-batu kecil disekitarnya, dan tanaman-tanaman lainnya yang tersebar hampir di sekitarku. Aku bisa merasakan mereka. Aku dapat melihat kehidupan mereka. Aku memahami mereka.

Untuk kedua kalinya, aku sangat bahagia dengan keadaan seperti ini. Memang hanya satu warna, tapi bayangkan hidupku yang seperti orang mati selama bertahun-tahun.
Kemudian rasa sesak tiba-tiba juga mendekam di hati. 5 tahun lalu aku juga seperti ini. 5 tahun lalu aku juga sangat bahagia seperti ini. 5 tahun lalu aku yakin bisa menjalani kehidupanku selanjutnya walau hanya dengan munculnya satu warna. Tapi 5 tahun lalu juga yang membuatku menangis sambil berteriak tidak karuan saat aku tidak lagi menemukan warna hijau dalam pengelihatanku. Dia tiba-tiba pergi dengan tanpa permisi.

Apa kali ini juga akan seperti itu? Melihat bagaimana teduhnya pepohonan yang aku temui di sepanjang jalan, bagaimana mereka berayun mengikuti arah angin, tubuhku terasa terbang dan tidak ingin menapakkan kaki di bumi lagi. Mengapa harus kembali jika aku akan kehilangan semua kesenangan ini.

"Adrian, kamu kenapa Nak? Astaga tangan kirimu berdarah," teriakan Umi menyadarkanku, membuat mataku berpaling ke arah beliau. Aku tersenyum tipis saat melihat kerudung Umi yang menyala terang di mataku, hijau.

Umi mendekat, menggiringku agar masuk ke rumah. Dari halaman Umi sudah mengeluarkan kata-kata cerewetnya yang entah kenapa tidak berpengaruh padaku. Tangan kiriku juga tiba-tiba tidak terasa sakit. Lihat bagaimana satu warna merubah suasana hatiku menjadi sebaik ini.

"Buat apa beli mobil kalau enggak dipakai? Jatuh kaya gini. Jaket robek, tangan berdarah, semua basah dari atas ke bawah. Kenapa motor itu juga masih ada sih? Perasaan Umi enggak pernah tau ada di garasi. Kalau malem kaya gini mending bawa mobil apalagi kalau lagi hujan. Kamu enggak inget apa kelakuan jaman SMA-mu yang suka kebut-kebutan kalau pake motor. Berapa kali kamu jatuh terus masuk rumah sakit? Untung cuma luka kaya gini, nah dulu kamu pernah sampe 3 kali patah tulang." Aku melepaskan diri dari Umi dan berdiri di depannya sambil kedua tanganku menyentuh bahu beliau.

"Umi sayang, udah ya ngomelnya. Mendingan obatin tangan aku nih. Iya ntar enggak jatuh lagi kok kalau naik motor."

"Cari istri sana buat merhatiin kamu. Masa Umi terus yang disuruh ngobatin, disuruh ngomelin kamu kalau bandel. Umi 'kan punyanya Abi." Kepalaku menoleh dengan cepat ke arah tangga yang ternyata juga ada Abi yang sedang menyilangkan tangannya.

"Yah Abi. Umi 'kan sayangnya enggak cuma ke Abi aja, ke Adrian juga." Abi menggelengkan kepalanya sambil terkekeh. Umi juga ikut tertawa kecil di belakangku. Malam ini, meskipun jam sudah menunjukkan waktu tengah malam, meskipun seharusnya orang-orang sudah memasuki jam tidurnya, Umi masih bersedia mengobati lukaku dengan Abi yang menunggu di sampingnya.

Aku juga ingin seperti mereka. Hidup dengan canda tawa dan kebahagiaan yang selalu terpancar. Aku juga ingin seperti mereka. Walaupun banyak masalah yang sebenarnya membebani pundak, tetapi mereka melewatinya dengan jalinan tangan yang terus bersama.

Pikiranku kembali kepada sosok gadis dengan leaf pendant berwarna hijau yang tergantung di leher yang bebas. Rambutnya dikuncir kuda dan menyisakan sedikit anak rambut di sela-sela kanan dan kiri. Wajahnya yang terlihat ketakutan bercampur khawatir saat melihatku terjatuh dan reaksinya yang berlebihan saat mengucapkan kata maaf.

Lain kali mungkin aku harus berterima kasih padanya. Setidaknya disengaja atau tidak, karena kejadian tadi dia membuat suatu harapan muncul kembali dalam benakku. Secercah cahaya yang sangat kecil tapi kuharapkan akan terus bersinar untuk menerangi dunia kelamku.

EfemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang