Allona tidak berbicara lagi kepadaku setelah dari festival. Setelah dia hampir jatuh tersungkur dan menangis. Setelah adegan tiba-tiba dia memelukku dengan erat.
Aku khawatir padamu, bodoh. Bahkan kata-katanya masih terngiang di kepalaku dan dia tidak ingin bersusah payah menjelaskan.Kami sudah berada di dalam mobil dan aku memutuskan untuk segera mengantarkan Allona langsung ke rumah. Rasanya toko bukan tempat yang pas setelah dia mengalami banyak kejadian yang menguras emosi hari ini.
Sungguh aku tidak ingin menghancurkan perasaan senang Allona saat melihat festival parade yang berlangsung. Aku cukup bahagia saat melihatnya tertawa lebar dan memperlihatkan binar-binar bahagia di matanya. Aku tidak ingin merusak semuanya.
Saat perasaan kelam jauh di dalam diriku terbangkitkan, sebisanya aku tidak membuat kegaduhan. Aku tidak mengeluh dan berjalan pergi meninggalkannya. Aku masih berdiri di sampingnya.
Aku tidak pernah ingin melihat sesuatu seperti ini. Tidak pernah waktu dalam hidupku hanya aku sia-siakan untuk melihat hal-hal yang berbau keramaian dengan bermacam-macam corak. Melihat pergelaran seperti ini hanya akan membuatku mengasihani diriku yang tidak bisa merasakan perasaan yang disalurkan dari sang peraga. Mereka menampilkan warna, membuat diri mereka mencolok dengan berbagai hiasan dan perpaduan garis pelangi. Tapi salah jika penikmatnya adalah aku. Semua itu bukan untukku, karena aku tidak bisa meraih kesenangan mereka. Aku tidak bisa melihat sesuatu yang mereka tonjolkan. Aku tidak bisa.
Satu-satunya alasan aku ingin melawan pikiran bodohku ini hanya untuk Allona, gadis yang sedari tadi diam dan memilih melihat ke luar jendela.
"Allona ...."
"Hmm ...." Aku menghembuskan nafas saat mendengar jawaban darinya meskipun hanya seperti itu.
"Apa aku melakukan kesalahan?" Kepalanya menggeleng lemah, masih tidak ingin menatapku.
"Apa aku penyebab dari keluarnya air matamu?" Hening sejenak tapi kemudian kepalanya menggeleng lagi.
"Kalau begitu tatap aku dan bicaralah kepadaku. Sifatmu membuatku bingung." Mungkin aku terlalu frustasi atau aku terlalu kesal dengan Allona yang mendiamkanku, hingga kata-kata yang cukup keras itu keluar dari bibirku.
Dengan gerakan cepat, Allona mengalihkan wajahnya, memandangku dan menatap mataku. Dia melakukannya hampir setengah menit dan aku tidak tahu apa yang sedang dia lakukan. Kemudian dia mengatur nafasnya dan membuat duduknya lebih nyaman. "Aku sangat lelah, maafkan aku. Bisakah nanti kamu bangunkan aku jika sampai rumah?"
Sepertinya tujuanku untuk memulangkan Allona langsung ke kediamannya memang telah disetujui secara tidak langsung. Tapi bukan ini maksudku. Aku ingin dia berbicara denganku, bukan meninggalkan aku tidur.
"Tapi-"
"Aku capek. Maaf." Saat aku melihatnya, sepasang mata itu sudah terpejam, menyisakan aku sendiri di keheningan malam.
Andai aku berani, mungkin tanganku sekarang akan terjulur dan membenarkan beberapa anak rambutnya yang menutupi wajahnya. Andai aku berani, mungkin tanganku sekarang akan terjulur dan membalut tubuhnya dengan selimut hangat. Andai aku berani, mungkin tanganku akan terjulur dan mengusap pelan rambutnya sambil mengatakan selamat malam. Hanya sebatas pengandaian.
Aku masih bisa melihat kilauan hijau liontin leaf pendantnya, dan itu membuatku tenang. Selama Allona masih berada di sekitarku dan mataku masih bisa melihat kilauan itu, aku yakin semua akan baik-baik saja. Ya, cukup seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Efemeral
RomanceAku seorang yang biasa, dan dia sempurna. Kami mempunyai jalan yang berbeda tapi kedua garis berliku itu akhirnya dipertemukan di simpangan kecil yang merupakan satu dari sekian banyak takdir Tuhan. Nyatanya tidak semua hal akan terus berjalan baik...