17-ADRIAN

1.2K 118 0
                                    

Aku kembali melihat ponsel yang tergeletak di samping laptop dan menghela nafas untuk yang kesekian kalinya.

Kemarin malam, saat aku sedang berada di balkon kamarku tengah menikmati angin malam, benda pipih itu tiba-tiba berbunyi dan menampilkan nama Allona. Satu-satunya gadis yang berada dalam pikiranku tapi sebisa mungkin aku enyahkan.

Aku tidak mengangkatnya. Mungkin emosiku masih sangat besar setelah kedatangan Mike di restoran. Aku berusaha mengabaikannya. Lagipula panggilan itu hanya terjadi sekali.

Jika Allona memang serius ingin menghubungiku, dia pasti akan terus menelpon sampai mendengar suaraku dari sebrang ponselnya. Nyatanya tidak seperti itu.

Bagaimana jika aku mengangkat dan ternyata Allona hanya salah memencet nomor? Bagaimana jika aku menelpon kembali dan ternyata hanya ketidak sengajaan Allona dengan menekan tombol call pada nomorku? Bisa saja seperti itu, dan aku akan berakhir seperti lelaki bodoh yang mempunyai harapan terlalu tinggi.

Tapi sekarang, saat waktu menunjukkan pukul 2 siang dan Allona tidak pergi bekerja membuat pikiranku terbang bebas. Bermacam-macam hal bersemayam dalam kepalaku mengenai gadis hijau itu.

Bukan lagi salah sambung yang menjadi alasan sepihakku untuk tidak mengangkat telponnya, tapi hal darurat atau berbahaya yang mungkin terjadi pada Allona. Apalagi waktu panggilannya berkisar pada jam 9 malam. Aku tidak akan bisa memaafkan diriku jika memang itu yang terjadi.

Aku menyambar ponsel kasar. Laptop di depanku segera aku tutup dengan asal. Aku berdiri, berjalan ke arah kaca sambil mencoba menghubungi Allona. Tapi nihil, suara yang menyambutku bukanlah suara gadis itu, melainkan operator yang mengatakn bahwa nomor yang sedang aku tuju sedang tidak aktif. Aku bertambah gusar.

Tapi sedetik kemudian aku membeku. Kenapa aku harus bersusah payah memikirkan mengenai Allona? Dia mempunyai Mike yang akan menjaganya. Dia mempunyai Mike sebagai tujuan utama jika sesuatu terjadi kepadanya. Dia tidak memerlukanku.

Aku kembali duduk dan membuka laptop. Ponselku sudah tergeletak jauh di sofa agar pikiranku tidak terbagi ke orang yang telah membuatku khawatir beberapa detik yang lalu.

Tapi tidak bisa, tetap tidak bisa. Sedari tadi yang aku lakukan hanya memandang layar putih di depanku tanpa melakukan sesuatu yang lebih. Bahkan waktu sudah berjalan satu jam dan tanganku hanya berada di atas jejeran keyboard tanpa membuat pergerakan.

Katakan aku bodoh, karena memang aku adalah orang bodoh. Setelah menyelesaikan Sholat Ashar dengan waktu yang lebih cepat dari seharusnya, aku mengambil ponselku lagi dan menuju ke lantai bawah. Aku mengatakan kepada Seno bahwa ada urusan mendadak yang harus diurus dan lelaki itu mengangguk tanpa ingin bertanya lebih.

Mobil yang aku kemudikan sudah bergabung dengan kendaraan yang cukup ramai di sore hari. Tujuan awalku adalah ke Taman Surga Impian kemudian ke rumahnya. Jika aku telah melihat sekedar siluetnya saja, aku akan memutuskan untuk kembali pulang tanpa bertemu atau menanyakan perihal dia meneleponku.

Taman Surga Impian terlihat sepi. Di pintunya yang tergantung hiasan tanaman dengan sulur hijau terdapat papan bertuliskan 'TUTUP'. Aku melajukan mobil kembali menuju rumahnya. Jika aku adalah orang asing yang hanya diberi kertas yang tertera alamat rumah Allona, mungkin aku akan membutuhkan waktu berjam-jam untuk mencarinya.

Rumah Allona sangat terpencil. Berada di daerah padat dengan jalan sempit yang hanya bisa dilewati satu mobil saja. Apalagi tidak ada nomor rumah di setiap hunian di samping kanan kiri.

Rumah dengan cat hijau yang tidak terlalu besar terapit di antara dua rumah yang sama berwarna putih. Tembok yang digunakan sebagai pembatas bahkan digunakan untuk bagian mereka berdua. Untungnya, Allona memiliki halaman yang meskipun tidak terlalu besar tapi dapat menyegarkan mata yang melihatnya, khususnya aku. Penuh dengan rumput yang dirawat dengan apik dan tatanan tanaman yang bermacam-macam.

Aku turun dari mobil dan mengetuk pintu rumahnya beberapa kali. Tidak ada sahutan. Bahkan saat ketukanku berubah menjadi gedoran yang cukup keras, masih saja tidak ada respon dari dalam. Sampai suara klakson nyaring mengalihkanku dari pintu kayu yang sudah reot. Aku melihat mobil berwarna kuning yang kacanya dibuka dan menampilkan bapak berkumis yang menyuruhku untuk segera memindahkan mobil.

Aku melihat ke arah rumah Allona sebentar dan memutuskan untuk pergi. Gadis itu tidak ada di rumahnya. Di tokonya juga tidak ada. Bahkan dia tidak bekerja. Aku bisa saja mengasumsi bahwa Allona sedang pergi bersama Mike atau berada di rumah lelaki itu, tapi sepertinya hatiku masih menang kali ini. Aku mencari Allona, dan tidak ada niatan untuk berhenti jika belum melihat sosoknya.

Saat aku kembali ke Taman Surga Impian, aku baru menyadari bahwa mobil pick up Allona yang biasanya diletakkan di sebelah tokonya tidak lagi berada di tempatnya. Mobil itu hilang atau mungkin dipakai oleh pemiliknya.

Aku segera menuju ke jalanan yang ramai dan menelusuri satu persatu mobil yang aku lihat. Bahkan kecepatanku bisa dibilang seperti orang yang baru saja belajar menaiki mobil, sangat lamban. Tidak hanya jalan raya, aku bahkan membuka google maps untuk melihat jalanan perkampungan yang tidak pernah aku temui sebelumnya.

Dengan memakai mobil itu, tidak mungkin Allona akan berada jauh dari sini. Memikirkan bahwa dia akan ke luar kota saja sangat mustahil. Mesinnya tidak akan kuat. Kemudian pikiran mobilnya yang mogok memenuhi kepalaku. Tetapi dengan jangka waktu selama itu tidak mungkin Allona belum kembali. Kecuali jika dia sedang dirampok. Tapi, siapa orang yang menginginkan mobil bekas seperti itu? Sangat mustahil.

Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam. Satu jam lagi dan tepat 24 jam Allona menghilang. Aku sudah menyempatkan Sholat Maghrib di masjid sekitar dan memikirkan asupan makanan yang belum masuk sama sekali ke perutku tidak membuatku merasa kelaparan. Aku masih memikirkan Allona.

"Mobil sudah diantarkan ke pemiliknya Pak. Gadis itu sangat berani. Dengan mesin-mesin yang tidak mendukung ternyata plat yang dia pakai adalah palsu. Tapi tidak masalah jika hanya dipakai untuk jarak dekat, yang terpenting jangan sampai ketahuan polisi." Tiba-tiba saja perkataan orang bengkel yang dulu mengurusi mobil Allona teringat lagi dalam otakku.

Kantor polisi? Apakah mungkin? Aku ingin mencoba segala kemungkinan yang ada dan lihat betapa bodohnya aku yang menelusuri satu demi satu kantor polisi di kota ini hanya untuk menanyakan mengenai mobil yang ditilang dari seorang gadis muda pada kemarin malam.

Perlu waktu yang cukup banyak untuk mendatangi tempat yang jumlahnya tidak hanya satu. Pada akhirnya pencarianku berakhir tepat pada kantor polisi kesepuluh dengan jam yang menunjukkan waktu setengah sepuluh malam.

Pihak polisi mengatakan bahwa memang telah menangkap gadis dengan mobil pick up yang tidak memenuhi standard sekaligus mengemudi secara ugal-ugalan. Aku dengan mantap berkata bahwa, aku adalah penjaminnya. Aku adalah kenalannya yang akan melakukan penangguhan hukuman atas dirinya. Aku ingin segera mengurus semuanya, karena yang aku inginkan adalah segera melihat Allona.

Setelah memastikan identitas asliku, polisi yang lainnya segera diperintahkan untuk membawa gadis yang tersangkut dengan kasus pick up.

Beberapa detik kemudian aku bernafas lega, mataku dapat melihat lagi kilauan leaf pendant yang menjadi alasan utama orang bodoh sepertiku mengitari seluruh kota selama beberapa jam.

Allona berdiri dengan wajah berantakan dan pakaian kusut. Matanya terlihat lelah tetapi dia masih bisa menampilkan raut terkejut saat melihatku.

Aku tidak memedulikan beberapa polisi yang berada di kantor itu. Langkahku begitu saja membawaku ke arah Allona dan memeluk tubuhnya dengan erat. Bahkan polisi yang membawanya juga tidak menyangka dengan tindakanku, dia bergeser ke belakang untuk memberi akses lebih kepadaku.

"Syukurlah. Aku sangat khawatir mengenai keadaanmu." Mungkin rasa lelah dan kelegaan yang bercampur menjadi satu membuatku melangkahi garis-garis peringatan yang dua hari lalu sudah aku tanam dalam diriku.

Aku tidak peduli dengan tanda Salib di telinganya. Aku tidak peduli dengan cincin yang terikat di jari manisnya. Dan aku tidak peduli dengan Mike yang mengaku sebagai tunangannya. Yang aku tahu, aku mengkhawatirkannya dan aku tidak bisa melepaskannya begitu saja dari hidupku.

EfemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang