21-ADRIAN

1.1K 101 0
                                    

"Jadi di atas ada Allona?" Aku mengangguk sambil menyusuri bibir gelas yang berisi kopi hitam dengan tanganku, minuman kafein yang ketiga untuk malam ini.

"Bapak suka sama Allona?" Aku tidak perlu menjawab pertanyaan itu pasti lelaki di depanku sudah bisa menebaknya. "Dan anda tidak bisa meraihnya." Lanjutan Seno membuatku menatapnya tidak suka tapi diam-diam aku membenarkan.

Penjuru restoran sudah sepi, para pegawai sudah pulang dengan meja-kursi yang sudah di tata dan lantai juga terlihat licin. Aku sangat bodoh saat mengambil obat untuk Allona tadi pagi. Secara tidak sadar aku menyebutkan nama perempuan itu di depan Seno dan membuat lelaki itu tahu apa yang terjadi di atas.

"Dia pengikut Kristus."

"Aku tahu."

"Kekasihnya menunggu di depan dari pagi sampai malam."

"Aku tahu."

"Dan Bapak menahannya."

"Kau tidak perlu memperjelas karena aku sangat sadar perbuatanku salah, tapi ... argghh." Tanganku melayang ke atas kepala dan mengacak rambut kasar. Aku bingung mengatakannya.

Allona sangat jauh dariku, aku tahu. Baik hatinya dan kepercayaannya, semuanya tidak bisa sejalan denganku tapi meskipun begitu aku tetap memaksakan semua. Menjerat Allona agar perempuan itu dapat di sisiku dan dalam perlindunganku. Padahal di luar sana kekasihnya sudah menunggu dirinya. Aku egois, memang.

"Anda tidak bisa seperti ini Pak. Jika memang yang anda inginkan adalah Allona yang mencintai dan menginginkan anda, maka caranya tidak begini. Perempuan itu sudah mempunyai ikatan, anda malah akan menghancurkan semuanya. Anda terlalu berusaha bekerja keras dengan paksaan, namun hati Allona masih akan tetap tertaut dengan kekasihnya, apa yang anda dapatkan? Hanya kesakitan. Jadi mungkin anda bisa membebaskannya namun anda tetap memberi segala bentuk perhatian. Biarkan pada akhirnya Allona sendiri yang memilih untuk tetap bersama kekasihnya atau beralih kepada anda yang selalu ada untuknya." Aku diam. Seno memang benar. Percuma aku melakukan segala hal jika pikiran Allona masih terus tertuju kepada Mike.

Dari ujung mataku, aku melihat Seno mengeluarkan ponsel. Dia mengangkat panggilan di depanku dan aku tidak mempermasalahkannya.

"Halo?"

...

"Iya Sayang. Ini Papa mau pulang."

...

"Mau dibeliin apa?"

...

"Yaudah anak papa tidur dulu ya. Udah malem."

Aku bisa melihat guratan bahagia di wajah Seno. Dia memang lelaki yang sudah menikah dan dikarunia buah hati yang telah menginjak umur 2 tahun. Padahal usia Seno hanya selisih denganku dua tahun.

"Pak, saya pamit terlebih dahulu." Aku mengangguk.

"Terima kasih."

"Tidak masalah. Bapak pantas mendapatkan yang terbaik." Aku tersenyum kecut sepeninggalan Seno. Yang terbaik ya ....

Aku memutuskan untuk pergi ke atas dan mengetuk ruangan pribadiku. Hanya dua ketukan samar dan pintu terbuka menampakkan Allona yang tidak terlihat bekas tidur di wajahnya. Ah, ternyata perempuan ini masih terjaga.

"Eh ... iya?" Aku bertanya-tanya, apa yang dipikirkan oleh Allona jika aku terus menahannya di sini bersamaku?

"Aku antar pulang?" Allona terlihat terkejut, tapi kemudian senyumnya merekah tipis sambil mengangguk. Seharusnya dari awal aku tahu bahwa perempuan yang mempunyai ikatan seperti Allona tidak akan bisa betah tinggal di ruangan laki-laki lain, dan aku malah memikirkan egoku sendiri.

Allona menyambar tasnya dan segera mengikutiku keluar. Setelah memastikan semua pintu terkunci rapat, aku menjalankan mobil dan menuju ke rumahnya. Jalanan cukup sepi melihat dari jam yang sudah menunjukkan waktu tengah malam. Dan Allona masih belum tertidur? Kini aku tahu, mungkin Allona memang tidak nyaman dengan kekangan tidak langsungku.

Allona memandang jalanan, menikmati suasana malam yang terlihat terang dengan terpaan bulan dan bintang. Wajahnya terlihat berseri-seri. Seharusnya aku memang memulangkan Allona lebih awal jika perempuan itu bisa sesenang ini.

Kami sampai dan saling membuka pintu mobil. Halaman Allona kosong, tidak terlihat mobil sedan Mike yang menungguinya seperti kemarin malam.

"Terimakasih, untuk semuanya." Allona berdiri di depanku. Lampu mobil yang masih menyala menerangi tubuh kami dengan cahaya putih yang cukup menyilaukan.

Aku mungkin gila saat langkahku mendekat ke arahnya dan mempersempit jarak kami. Dan aku berharap bahwa Mike tidak melihat ulahku saat mencium kening Allona karena pasti dia akan menonjok wajahku sampai hancur.

"Maafkan aku." Setelah mengatakan itu, aku menjauhkan wajah dan segera memasuki mobil lalu menjauh dari rumahnya. Allona pasti terkejut dengan perlakuanku tapi aku tidak menyesal. Aku memang brengsek, bermain di belakang Mike dengan tunangannya. Tapi aku memang menginginkan Allona.

Maaf kepada Allona karena terlalu ikut campur dengan hubungannya dan membuat dia semakin tertimpa masalah saat tidak kuperbolehkan pergi dari restoran sedangkan di luar sana terdapat kekasihnya.

Maaf kepada Mike karena mencintai perempuan yang sudah menjadi miliknya dan mencoba menahan Allona karena keegoisanku.

Aku memang harus meminta maaf, karena aku berada di posisi sangat salah saat ini.

EfemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang