"Allona ...."
"Eh bibi, kok di luar? Udaranya dingin loh."
"Kamu juga di sini kan?" Aku tersenyum kecut, kenyataannya aku memang ingin menyendiri, entah apa yang sedang ingin kupikirkan.
"Hubungan kalian baik-baik saja?" Mendengar pertanyaan itu rasanya aku sangat bersalah kepada Mike.
Sekarang adalah malam natal, dan sesuai dengan tahun sebelumnya, aku menghabiskan waktu dengan keluarga Mike. Mereka semua sangat baik, bagaimana paman, bibi dan keluarga Mike lainnya menyambutku dengan hangat, pergi beribadah bersama, kemudian mengundang untuk makan malam yang sudah dipersiapkan dengan hidangan babi sebagai menu utamanya dan mengajak untuk menghias pohon natal dengan indah.
Sangat sempurna. Tapi aku merusaknya.
Masih jelas saat Mike mengatakan bahwa dengan sepihak dia ingin mempercepat tanggal pernikahan kami di depan orang tuanya dan aku hanya diam tidak bereaksi.
Seharusnya aku tersenyum, mengangguk, dan berlari ke pelukannya. Tapi yang kulakukan hanya menunduk sambil melihat kilauan perak yang masih membelit pergelangan tanganku.
Suasananya menjadi canggung, namun bukan Mike jika tidak bisa melontarkan lelucon untuk merubah keadaan kembali ceria. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke teras, dan beberapa menit kemudian ternyata bibi menyusulku.
"Iya." Apa hanya perasaanku saja tapi aku mengucapkannya setelah helaan nafas yang cukup panjang. Kini bibi menoleh ke arahku dan tersenyum lembut, persis seperti mama.
"Kalian tahu? Bibi tidak menyangka bahwa kalian akan bersama. Mike anakku, dan kamu juga sudah aku anggap sebagai anak. Sangat senang rasanya saat melihat kalian menjalin ikatan lebih dari sekedar teman." Aku melihat matanya yang balik menatapku, ada tatapan sayang dan aku merasa nyaman.
"Bagaimana tidak? Kamu adalah anak Saskia, teman sekaligus sahabatku. Dia mengorbankan nyawanya untukmu, dan sekarang aku yang akan menanggungmu. Aku yang akan ada untukmu. Apalagi anak terakhirku juga mencintaimu."
Kenangan itu lagi. Mama memang pahlawanku. Penculikan saat aku masih kecil dan aksinya melindungiku dari todongan pisau yang akhirnya menembus tubuhnya membuatku sesak. Aku sangat menyayangi mama, karena hidupku adalah hasil dari pengorbanannya. Tapi sekarang, memikirkan bahwa aku masih memiliki bibi yang akan selalu ada untukku membuat perasaan sesak itu terangkat, membuat bebanku sedikit demi sedikit menguar.
"Tapi terkadang sesuatu memang tidak bisa dipaksakan. Apa yang aku suka, bukan berarti orang lain juga akan suka. Apa yang aku harapkan, bukan berarti orang lain juga akan harapkan. Kamu harus tahu, apapun yang terjadi dengan kalian, Mike dan Allona akan tetap menjadi anak bibi." Dengan selesainya perkataan mulia itu, tubuhku sudah terkubur dalam pelukan bibi. Aku sangat menyangi beliau, perisis seperti mama yang selalu ada buatku.
"Bibi ke dalam ya. Jangan kelamaan di luar, nanti sakit." Aku mengangguk dan segera melepaskan lingkaran tanganku di sekitar tubuh beliau. Tubuhnya yang sudah berumur kemudian melangkah menuju pintu dan segera menghilang dari pengelihatan.
Aku jelas tahu apa yang dikatakan bibi, itu adalah semacam dukungan batin untukku. Tapi mungkinkah memang itu yang aku inginkan?
Lagi-lagi mataku menatap gelang cantik dengan hiasan banyak daun kecil. Aku sangat menyukainya, seperti aku juga menyukai tanaman dan segala hal yang berwarna hijau.
Kemudian kilauan emas membuat mataku tertarik, cincin di jari manis. Aku bisa melihat dua benda itu secara bersamaan kali ini, saling bersaing untuk membuktikan cahaya siapa yang paling terang merasuk dalam pengelihatanku.
Adrian. Memikirkannya membuatku sakit. Aku menjauhinya, aku mengabaikannya, dan itu menjadi boomerang sendiri untukku.
Awalnya aku hanya ingin mencintai Mike dan hanya Mike. Menerima lelaki itu dan menjauhi hal-hal yang merusak hubungan kami. Bahkan setelah berbaikan dengan Mike, aku dengan rela merencanakan pengunduran diri padahal sebelumnya aku menolak mentah-mentah rencana itu.
Semuanya demi hubunganku dengan Mike, tapi rasanya sangat menyesakkan.
Seharusnya hari ini, tepat jam 7 malam tadi Adrian menungguku di Taman Surga Impian. Apa dia bodoh tidak mengetahui bahwa hari ini adalah malam natal?
Aku terlalu telat dan aku masih tidak yakin apa harus datang. Lagipula sekarang sudah menunjukkan pukul 10 malam. Terlewat 3 jam, dan Adrian sudah benar-benar pergi.
Apa sih yang aku inginkan? Bibi sudah mencoba membantu menjawab pertanyaanku tapi masih saja banyak pemikiran yang terus terlewat di dalam pikiranku.
Ah, iya. Mike. Satu-satunya alasan yang masih menahanku di sini adalah lelaki itu. Tunanganku.
Perlahan, aku melepas gelang pemberian Adrian. Genggaman tanganku cukup erat untuk melingkupi semua bagiannya.
Aku tidak bisa seperti ini, aku harus mengambil keputusan. Tapi akankah terlalu kejam untuk Mike?
Jika ada obat sakit kepala, aku akan meminumnya. Berapapun dosis akan aku tenggak hanya untuk menghilangkan semua ini.
Mataku terpejam. Badanku luruh dan bertumpu pada dinding pembatas yang berada di sampingku. Lingkaran perak masih berada dalam lingkupan hangat kedua tanganku sampai kedua lututku sepenuhnya menyentuh lantai.
Bantu aku Jesus. Apa yang harus aku lakukan?
Aku merubah posisi, menarik lututku, melingkarkan tanganku, dan menyembunyikan kepala dalam lipatan hangat.
Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan.
"Kamu tahu sendiri Ana, aku tidak akan pernah melepaskanmu." Seketika aku mendongak dan melihat Mike yang sudah berdiri menjulang di hadapanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Efemeral
RomanceAku seorang yang biasa, dan dia sempurna. Kami mempunyai jalan yang berbeda tapi kedua garis berliku itu akhirnya dipertemukan di simpangan kecil yang merupakan satu dari sekian banyak takdir Tuhan. Nyatanya tidak semua hal akan terus berjalan baik...