"Ssttt Pak, Pak Nanang, Umi ada di rumah?"
"Eh enggak Mas. Kenapa?"
"Enggak." Aku membayar taksi yang mengantarkan sampai ke rumah dan segera menuju pintu kecil di sebelah pos satpam. Pak Nanang masih mengerutkan dahinya saat melihatku, wajar saja ini masih terbilang sore dan aku sudah pulang. Tidak biasanya.
Aku hanya tersenyum sekilas dan menyimpan kekehan dalam hati. Sebenarnya aku tidak pulang, tapi hanya ingin mengambil motor ninjaku. Meletakkannya di garasi rumah dimana aku sangat jarang sekali di rumah akan menjadi hal yang berbahaya. Bagaimana nanti jika Umi memang membuangnya agar aku tidak pernah memakai motor lagi? Daripada was-was dan berpikiran terlalu jauh, aku memutuskan untuk memindahkan kendaraan itu ke restoran lagi. Setidaknya Umi tidak akan bisa berbuat sesuatu jika motorku telah berada di area kekuasaanku.
Kakiku melangkah melewati halaman rumah yang ternyata cukup luas jika dibandingkan dengan melewatinya memakai mobil atau sepeda. Kemudian tatapanku berfokus ke arah mobil yang bila aku boleh mengatakan sangat tidak layak pakai yang terparkir di depan pintu utama.
Intensitas berjalanku menjadi lambat saat seorang gadis keluar dari pintu kemudi dan mulai menurunkan banyak tanaman dari atas mobil. Leaf pendant. Liontin itu terlihat bercahaya di bawah sinar matahari sore. Kilau hijaunya tidak kalah dengan tumbuhan yang sedang berada didekapannya. Lagi, dia memakai kaos lengan ¾ yang juga berwarna hijau.
Gadis itu dan tumbuhan yang mengelilinginya saat berada di mataku seperti kamera yang sedang fokus dan otomatis menyamarkan area sekitar. Dia adalah topik utama.
Mataku terus saja menatapnya tanpa henti, mungkin itu yang menyebabkan tubuhku juga berhenti bergerak sampai tepukan di bahu kiriku membuat tersadar bahwa aku masih berada di tengah-tengah halaman. "Mas, ngapain bengong di sini? Oh iya tadi saya telpon Ibu, katanya tenaman hias itu emang pesenannya Ibu. Ibu lupa makanya dia tadi pergi. Saya disuruh bayarin dulu sih katanya, tapi berhubung ada Mas Adrian, saya serahin aja ke Mas. Yaudah Mas saya kembali ke pos dulu."
Sepeninggal Pak Nanang, aku menundukkan kepalaku dan menggeleng samar. Kenapa aku jadi melankolis seperti ini. Aku kembali berjalan, lagipula aku masih punya tanggungan terima kasih yang masih belum tersampaikan.
"Banyak ya tanaman hiasnya?" Gadis itu menoleh ke arahku, matanya berangsur-angsur membesar dan mulutnya terbuka sedikit. Untung saja aku sudah mengalami rasa terkejutku di tengah halaman tadi. Jika tidak, mungkin sekarang aku akan mengeluarkan ekspresi bodoh seperti orang di depanku.
Gadis itu membersihkan tangannya dengan mengusapkan ke celana bagian paha kemudian berdiri menghampiriku. "Mas ngapain di sini?"
"Mas? Aku rasa aku tidak mempunyai gen yang sama dengan keluargamu."
"Maksudku, ka ... mu ... kamu ngapa-"
"Adrian."
"Ha?" Jika bukan karena alasan kesopanan aku sudah akan tertawa dengan ekspresinya yang cukup lucu tersebut. Awalnya kaget kemudian khawatir bercampur gugup, sedikit rasa takut, tapi akhirnya kembali ke awal lagi.
"Ah jadi namamu Adrian, itu maksudmu? Oke, dan kenapa bisa di sini?"
"Apa pertanyaan itu harus dijawab? Sudah pasti aku di sini karena ini rumahku." Gadis itu melihat ke arah pintu utama dan menoleh kembali ke arahku. Mungkin dia memastikan bahwa rumah di depannya memang adalah rumahku walaupun aku tidak tahu bagaimana dia bisa memastikannya.
Aku mengikuti arahan matanya yang beralih ke tangan sebelah kiriku. Memang ada perban di lukaku, dan karena hal ini, Umi dengan keras menyuruh agar aku berangkat kerja naik taksi atau semobil bersama Abi. Padahal yang terluka adalah permukaan luar, aku masih bisa mengendarai mobil atau sepeda motor jika dipaksakan.
"Maafkan aku, tanganmu jadi seperti itu. Sissy memang nakal."
"Siapa Sissy?"
"Nama kucing yang kemarin membuatmu jatuh."
"Bagaimana dengan namamu?"
"Ha?" Aku sudah menahan diriku tapi tidak bisa. Tetap saja pada akhirnya aku terkekeh.
Tunggu dulu, sejak kapan aku jadi seperti ini? Yang aku tahu sosok Adrian adalah laki-laki pendiam yang tidak akan berbicara basa-basi kecuali pada Umi dan Abi. Mungkin karena jasa gadis dan kucingnya di depanku ini yang bisa membawa sedikit warna di hidupku.
Hijau ya. Jika mengikuti arahan pengelihatanku, gadis ini tidak pernah luput dari warna hijau. Seakan takdirku bisa melihat warna hijau memang adalah dari pancaran kehidupannya.
"Namaku? Aku Allona."
"Baiklah Allona, berapa aku harus membayar untuk semua ini." Gadis yang memperkenalkan diri sebagai Allona, mengeluarkan buku catatan dari tas kecilnya. Dia sudah menyiapkan struk rupanya.
Setelah melunasi semua tanaman pesanan Umi, Allona berpamit diri dan masuk ke mobilnya. Aku bisa melihat pergerakan kucing di dalam sana. Mungkin itu adalah Sissy yang dimaksud olehnya tadi.
Mobilnya mulai berjalan pelan melewatiku sehingga suara mesinnya yang kasar terdengar jelas oleh pendengaranku. Mungkin hanya 15 meter, bahkan Allona belum melewati pagar, mesin yang tadi aku dengar sudah tidak bersuara lagi. Mobilnya berhenti dan tidak bisa menyala saat sang pengemudi mencoba menjalankan lagi.
Apa ini sejenis kode untukku? Aku tersenyum dalam hati.
Pak Nanang sudah mendatangi Allona mencoba membantu sedangkan aku berjalan ke arah sebaliknya. Untuk kali ini aku harus meminta maaf kepada Umi karena tidak menuruti kata-katanya. Tidak hanya Umi, tapi juga teruntuk motor ninjaku karena harus menginap lebih lama lagi di rumah ini. Aku mengeluarkan mobil lainnya milik Abi yang berada di garasi. Akan sangat lama jika aku harus kembali ke restoran dan mengambil mobilku yang aku tinggal di sana kemarin malam.
"Masuklah. Aku antar." Antara Pak Nanang dan Allona sama-sama terkejut dengan kedatanganku.
"Tidak perlu. Aku bisa mencari angkutan umum." Aku menggeleng pelan. "Kamu bisa mendapatkan taksi jika memesan terlebih dahulu tapi akan memakan waktu. Kalau memakai angkutan umum, harus berjalan sekitar 15 menit."
"Tapi ...."
"Aku akan menyuruh orang bengkel memeriksa mobilmu. Jangan khawatir." Sangat sulit meyakinkan Allona, tapi setelah beberapa menit berpikir akhirnya dia membuka pintu mobil dan mengikuti masuk. Sissy juga berssamanya.
Pak Nanang sempat berbisik bahwa Umi akan memarahiku jika ketahuan mengendarai mobil tapi aku hanya mengatakan bahwa pastikan saja Umi tidak mengetahuinya.
Ini pertama kalinya bagiku bersikap seperti ini pada orang asing. Aku tidak tahu kenapa tapi seperti ada yang menggerakkan otakku agar tidak membiarkan orang yang menolongku mengalami kesusahan.
Ya, hanya itu. Setelah nanti aku mengucapkan terima kasih, kami akan seperti orang pada umumnya yang tidak akan bertemu kembali. Hanya dua orang kebetulan yang dipertemukan dengan waktu yang singkat oleh sang takdir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Efemeral
RomanceAku seorang yang biasa, dan dia sempurna. Kami mempunyai jalan yang berbeda tapi kedua garis berliku itu akhirnya dipertemukan di simpangan kecil yang merupakan satu dari sekian banyak takdir Tuhan. Nyatanya tidak semua hal akan terus berjalan baik...