11-ADRIAN

1.5K 121 0
                                    

Beberapa hari kemudian pihak bengkel telah mengkonfirmasi bahwa mobil pick up Allona sudah dikembalikan ke pemiliknya. Tentu saja aku menyuruh untuk melakukan yang terbaik pada mobil itu meskipun hanya sekedar memperlama kehidupan mesin-mesinnya untuk beberapa penggunaan.

Allona sudah resmi menjadi pegawaiku. Tiga hari yang lalu dia telah datang dan melihat penjuru restoran yang diakhiri dengan decakan kagum. "Aku tidak tahu bahwa bisnis kuliner yang kamu maksud adalah restoran besar dan mahal seperti ini. Sepertinya aku memang harus bekerja keras," komentarnya saat itu. Aku dan Seno yang menjadi penerima kedatangannya hanya tersenyum maklum. Kami terlalu sering mendengar pernyataan seperti itu.

Berbicara mengenai Seno, dia sedikit menggodaku akhir-akhir ini. Bukan menggoda dalam arti menaksir. Dia pasti terkejut dengan hadirnya Allona dalam lingkup restoran, apalagi aku yang mengundangnya. Itu akan menjadi pertanyaan bagi Seno, mengapa bos sepertiku yang sangat jarang bersosialisasi bisa menjadi ramah dan terbuka bersamaan dengan kedatangan Allona. Aku tidak ingin terlalu memikirkan jawabannya.

"Hai Bos, aku membawakan asupan energi untukmu." Pintu ruanganku dibuka tanpa permisi, menampilkan gadis dengan liontin leaf pendant yang bergerak ke kanan-kiri saat dia berjalan.

Apa dia tidak tahu bahwa seharusnya ruanganku hanya boleh dimasuki oleh orang-orang kepercayaanku saja? Tapi anehnya aku tidak terlalu mempermasalahkannya kali ini.

"Apa Seno tidak memberitahumu bahwa aku lebih suka kopi?" Allona meletakkan dua lapis roti dengan selai dan segelas ... aku tidak terlalu mengenal minuman itu. Maksudku aku tidak pernah meminum yang seperti ini sebelumnya. Aku memang tidak bisa melihat warnanya tapi baunya asing, seperti teh tapi terlalu menusuk.

"Apa ini? Teh?" Allona mengerutkan dahi kemudian menggeleng, rambut ikat kudanya juga ikut bergoyang.

"Itu air hangat jahe dan madu." Jahe? Aku sering mendengarnya dan menemuinya dalam beberapa masakan. Tapi untuk minuman seperti ini? Apa benar tidak apa-apa? Allona sepertinya mengerti kerisauanku, dia langsung berkata, "jangan khawatir. Aku adalah saksi bisu yang selamat setelah meminum ini selama lebih dari 10 tahun."

"Siapa yang membuat ini?"

"Aku." Aku terkekeh saat mendengar nada percaya diri yang tinggi dalam suaranya. Sebenarnya aku memang tidak suka minuman selain kopi, tapi memikirkan bahwa air hangat jahe dan madu ini adalah buatan dari tangan lentik si wanita hijau, membuat keinginanku untuk mencobanya sangat besar.

"Baiklah, akan kuminum untuk menambah saksi bisu dari minumanmu ini." Allona terlihat senang. Dan aku mulai tertular dengan suasana hatinya.

"Dan, ini juga untukmu." Allona menyodorkan benda hitam yang tidak asing, jam tanganku. Aku baru ingat bahwa telah kehilangan jam itu. "Ini tidak sengaja aku temukan saat pertemuan pertama kita," lanjut Allona dengan sedikit tersendat. "Tapi saat itu keadaan jam tangan ini sudah rusak, kemudian aku membawanya ke tukang servis. Maafkan aku tidak bisa mengganti dengan barang baru." Kepala gadis itu menunduk, mungkin dia merasa malu dengan hal ini.

Aku tersenyum dan melepas jam lain yang berada di pergelangan tangan kiriku. Dengan mantap aku memasang jam tangan yang diberikan Allona dan memandangnya dengan bangga. "Tidak ada perubahan sama sekali. Persis seperti sebelumnya. Jangan terlalu dikhawatirkan."

"Benar tidak apa-apa?" Aku mengangguk, merasa tidak nyaman dengan sifat Allona yang menunjukkan penyesalan dan rasa bersalahnya.

Bersamaan dengan itu pintu restoran terbuka lagi. Wanita paruh baya dengan gamis panjang berjalan masuk, Umi. Allona membungkuk dan segera meninggalkan ruangan. Mungkin dia tidak ingin mengganggu atau memang ingin menghindar dariku karena alasan jam tangan.

"Assalamualaikum Umi."

"Waalaikumsalam." Umi memang menjawabku tapi matanya mengikuti arah kepergian Allona, kemudian beliau melanjutkan, "bukankah itu gadis penjual tanaman hias?"

"Iya. Adrian menyuruhnya untuk mengatur dekorasi tanaman di restoran." Aku berdiri, menuntun Umi agar duduk di sofa yang tidak jauh dari meja kerjaku.

"Yang mobilnya pernah di rumah itu?"

"Iya, kenapa?"

"Enggak biasanya. Kamu terlalu enggak peduli sama hal-hal remeh apalagi yang berhubungan dengan mobil mogok ataupun dekorasi restoran. Tapi bagaimana sekarang?" Nada yang sedikit ragu tercetak jelas, dan aku tidak bisa membandingkan apa pertanyaan Umi adalah hal serius atau sekedar candaan.

"Oke, itu urusan kamu 'kan?" Aku memang tidak bisa memberikan beliau jawabab, karena aku juga tidak tahu apa yang terjadi dengan diriku saat ini. "Jadi maksud Umi ke sini itu mau pamit ke kamu. Umi sama Abi besok berangkat Umrah, nah sekarang niatnya mungkin bermalam di rumah Paman Ferdi, biar bisa barengan gitu."

"Umrah? Kok Adrian baru tahu? Terus Abi mana?"

"Udah setengah bulan yang lalu sih Umi sama Abi daftarnya. Kamu sengaja enggak Umi ajak soalnya pasti masih sibuk ngurusi restoran apalagi juga jarang pulang. Abi udah duluan, dia titip salam buat kamu. Cuma satu bulan kok, jadi kamu harus jaga kesehatan, jangan lupa istirahat, jangan maksain kerja, jangan-"

"Iya Umi, Adrian paham. Umi sama Abi juga harus sehat di sana." Aku cukup beruntung Umi tidak melanjutkan obrolan mengenai Allona, hal itu pasti membuatku kalang kabut.

Sengaja atau tidak, Allona memang orang yang berperan penting dalam berubahnya kehidupanku. Leaf pendant dan segala warna hijau yang menempel pada tubuhnya selalu mengundang perhatianku. Membuatku betah memandangnya lama tanpa memikirkan berapa banyak waktu yang terlewat.

Jika aku tidak menggunakan motor, jika aku tidak menabrak Sissy, jika aku tidak mengalami luka pada tanganku, dan jika aku tidak bertemu Allona, mungkin semua hal akan berjalan dengan normal. Restoran dengan gaya vintage dan retro dengan aksen modern. Seno yang bekerja keras di lapangan seorang diri. Dan Aku yang tidak akan keluar dari dunia monokrom hitam putih.

Hanya karena seorang gadis, semua berubah total. Seperti matahari yang menggantikan malam dengan seluruh terpaan cahaya terangnya.

Aku tidak ingin terlalu cepat beramsumsi kemudian mengakui, tetapi dalam lubuk hatiku selalu tersimpan pertanyaan penting yang ditujukan untuk diriku sendiri. Apakah aku mulai mencintai Allona? Apakah perasaanku ini bukanlah wujud dari rasa terima kasihku?

Tapi sepertinya hanya itu satu-satunya alasan masuk akal mengapa senyumku selalu tertarik lebar saat melihatnya. Padahal aku tahu, tidak selamanya matahari akan menyinari bumi.

EfemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang