Chapter X

3.7K 335 3
                                    

Epoch (n.)

A particular period of time in history or a person's life.

[ENGLISH]

-----

[Rei's POV]

Setelahnya, aku tidak bertemu dengan Tasya. Di hari aku terbangun dengan keadaan tanpa pakaian itu, aku meminta ijin tidak masuk ke kantor, mengatakan aku benar-benar tidak bisa bangun dari kasur, dan akhirnya seniorku mengijinkan, walaupun dia meminta aku tetap bisa dihubungi – dan tentu saja, dikirimi pekerjaan – lewat email. Aku menyanggupi, karena toh sebenarnya, aku masih bisa bekerja asal tidak perlu ke kantor. Aku hanya sedikit linglung dengan apa yang terjadi.

Seharian itu, aku tidak melihat Tasya sama sekali. Aku keluar kosan 2 kali, untuk membeli makan siang dan makan malam, dan dia tidak ada di kosan. Kata penjaga kosan, dia memang pergi pagi-pagi sekali. Lalu, keesokan harinya, gantian aku yang harus berangkat cepat karena pekerjaan yang sudah ditunggu seniorku – berangkat dari kosan jam setengah 6 pagi – dan tentu saja, kembali sangat larut, sekitar pukul 2, dan langsung pergi tidur. Sekali lagi, tidak melihat Tasya seharian.

Lalu pada hari yang ketiga sejak kejadian itu, aku ke kantor, dan dia ada disana. Itu hari pertama dia kembali masuk. Aku datang sedikit terlalu mepet dengan jam masuk, hanya sekitar 5 menit sebelum jam 8. Dan, di mejanya, Tasya sudah dikerumuni oleh banyak orang. Well, berita dia tidak jadi menikah jelas tersebar, karena dia mengundang hampir separuh isi kantor ini. Dan, pembatalannya dilakukan tidak lama sebelum jadwal, jelas semua orang bertanya-tanya.

Aku tidak menghiraukan mereka, dan langsung berjalan ke arah kursiku. Seniorku, salah seorang teman Tasya yang juga masih berada di meja wanita itu, sedikit menaikkan alisnya ke arahku ketika aku lewat begitu saja; seperti tidak mengenal Tasya sama sekali, atau seperti tidak peduli pada teman yang kesusahan. Aku hanya mengangkat bahu sedikit ketika melewatinya. Aku bisa merasakan Tasya juga memperhatikan dan memandangiku, tetapi sekali lagi, aku tidak peduli.

Jangan tanya perasaanku, karena jujur, aku juga tidak tahu bagaimana perasaanku saat itu. Well, walaupun aku akui, aku bukan pria polos, dan cukup bergaul jaman kuliah, apalagi Akun Unpad dan aktif di kegiatan mahasiswa; sekedar akrab, dekat, sampai pacaran, sebelum Al, jelas sudah aku rasakan. Kalau sekedar pegang dan raba-raba, sudah aku lakukan dengan pacar-pacarku yang dulu. Walaupun jujur saja, dengan Al, paling sebatas pegangan tangan. Aku, sampai saat aku tidur dengan Tasya, baru 2 kali menciumnya. Satu ketika kami baru pulang dari menonton film midnight, dan satu lagi ketika aku akan pergi ke Semarang setelah lulus itu.

Mungkin karena abangnya bisa berkelahi, jadi aku juga tidak berani macam-macam.

Tapi, walaupun begitu, aku benar-benar belum pernah melakukan apa yang aku lakukan dengan Tasya, sebelumnya. Dan, entah bagaimana aku menyebutnya atau menjelaskannya, tapi yang jelas, itu membuat perubahan dalam diriku, jujur saja. Apalagi soal perasaanku pada Tasya. Sulit dijelaskan.

Jangan tanya rasa bersalahku pada Al. Masalahnya, sekitar beberapa minggu sebelum kejadian itu, kami berkelahi kecil, karena aku benar-benar lupa tanggal jadian kami. Sebenarnya bukan hal yang ku sengaja, tetapi, pada hari itu, kerjaanku benar-benar menumpuk, dan sialnya lagi, ponselku tertinggal di kosan. Jadi, jangankan menelpon, sms pun aku tidak, sepanjang hari itu. Aku pergi ke kantor jam 7, dan pulang jam setengah 3 pagi. Besoknya, karena aku masih sibuk, aku tidak terlalu menghubungi Al, dan hanya mengirimkan pesan singkat sore hari, menanyainya kabar dan menginfokan apa yang ku lakukan. Hingga hari selanjutnya aku akhirnya menelponnya, dan dia marah-marah. Aku mungkin sedang tidak dalam keadaan baik, jadi kesalnya dia, ku lawan dengan emosi, dan kami malah diam-diaman.

AlleindraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang