Sankofa (phr.)
Lit.: "To go back and fetch it"
We must go back and reclaim our past, so we can move forward, and we can understand why and how we came to be who we are.
[AKAN]
-----
[Al's POV]
Tubuhku sedang menghianatiku.
Aku ingin berlari, aku ingin menjauh, melangkah pergi dari sana. Tapi kata orang, otak dan hati memang sering bertentangan. Seperti sekarang. Kalau bisa, ku rasa hatiku sudah berteriak "KABUR!" sejak tadi, namun otakku justru mengirimkan sinyal "BERDIRI DI TEMPAT!" pada kaki-kakiku.
Ketika tadi aku menoleh dan akhirnya melihatnya – dia, yang sepertinya sudah memandangiku sejak beberapa waktu sebelumnya – sekitar 5 menit yang lalu, sampai saat ini, tubuhku menjadi kaku dan kakiku belum bergerak sama sekali. Bahkan, di menit pertama pandangan kami bertemu tadi, ku rasa aku sempat tidak bernapas sama sekali.
Untung jalanan di sekitar pasar hari ini tidak seramai biasanya. Mungkin karena ini hari Kamis, dan masih jam 10 pagi. Anak sekolah belum pulang, ibu-ibu sudah selesai ke pasar, dan kios-kios tidak terlalu banyak pengunjung. Sepi.
Untung? Tunggu dulu, apa yang kupikirkan? Apa aku bersyukur atas keadaan ini? Untung? Untung dari mana? Kami sudah berdiri hampir 5 menit, tanpa bergerak, tanpa berbicara, dan hanya saling melihat dari kejauhan.
Dia terlihat ingin mengatakan sesuatu, mulutnya membuka sedikit, tapi kemudian menutup lagi. Dia sepertinya mengurungkan niatnya. Mengerjapkan mata beberapa kali, sudah dilakukannya sejak tapi. Dan aku masih belum bergerak sama sekali, apalagi berjalan menjauh.
Sementara dia berhasil menggerakkan kakinya, dan berjalan mendekat.
Jarak sekitar 20 meter, dengan cepat mengecil menjadi hanya beberapa langkah. Dia sudah berdiri di hadapanku sekarang, menjulang tinggi. Apa aku sudah bilang dia 180 cm? Sementara aku yang hanya 160cm ini, harus sedikit mendongakkan kepala kalau ingin melihat wajahnya.
Dan sekarang, aku sedang tidak ingin.
Tapi, dengan posisi mata yang sejajar dengan dadanya, juga tidak lebih baik. Maka aku memilih menunduk, melihat sendal hijau milik Bi Uda yang tadi ku pinjam karena aku buru-buru ke pasar. Tujuan awalku. Untuk membeli kwetiau goreng dan beberapa barang yang dititip Bi Uda tadi.
"Hi,"
Suara itu. Suara yang dulu sering menyapaku di telepon. Dulu kami tidak menggunakan panggilan sayang, menurutku itu bodoh. Aku memanggil dia Mas, karena dia memang orang Jawa, dan dia memanggilku Kam, yang artinya kamu dalam bahasa Karo.
Tapi, suara itu sedikit lebih dalam dari yang ku ingat. Mungkin efek dia merokok dahulu, akhirnya mempengaruhi suaranya. Bukan perokok berat memang, namun tetap saja setiap hari, yang bisa bertambah parah kalau dia sedang banyak pikiran.
Apa dia masih merokok setelah kami berpisah? Apa sekarang sudah berhenti? Atau malah lebih parah?
Mungkin karena aku tidak membalas, dan bahkan masih belum bersuara hingga saat ini, dia kemudian kembali bertanya.
"Kam apa kabar?"
Dan kemudian, entah dorongan darimana, aku berhasil mengangkat kepalaku, menatapnya, dan akhirnya membuka mulutku.
"Bukannya kita tidak saling mengenal sama sekali?"
Dan kemudian – AKHIRNYA! – aku bisa menggerakkan kakiku, dan berlari dari sana.

KAMU SEDANG MEMBACA
Alleindra
Storie d'amoreDulu, seorang wanita datang ke Al dan mengatakan bahwa dia hamil, anak Rei. Itu membuat dia putus dengan Rei, dan membuatnya tidak berhubungan dengan pria manapun selama 5 tahun lebih. Sampai kemudian Bas datang. Sekarang, seorang wanita datang ke...