Chapter IV

4.7K 408 3
                                    

Desiderium (n.)

An ardent desire or longing, particularly for something once had; grief or regret for the absence or loss of something or someone.

[LATIN]

-----

[Al's POV]

"Bang Bas belum ada ajak Al serius?" tanya Bi Uda lagi. Kali ini, aku bahkan sampai menaikkan alisku, dan memukul pelan lengan Bi Uda.

"Bi Uda apaan, sih?" kataku, kembali memajukan bibir. Bi Uda hanya tersenyum.

"Kalo Abang kan tampaknya belum ada tanda-tandanya mau kawin itu,"

"Nikah Bi Udaaaa," kataku, sementara Bi Uda tersenyum.

"Iya, dia sekolaaah aja kerjanya. Lulus kuliah, langsung ambil S2, langsung dikontrak kerja, sekarang gak pulang-pulang dari Jepang sana," kata Bi Uda. Bang Nu memang sudah 2 tahun di Jepang. Setelah menyelesaikan kuliahnya di ITB, dia langsung mendapat beasiswa di Jepang, melanjutkan studinya tentang mesin. Di Jepang, dia bekerja di perusahaan otomotif, dan setelah lulus kuliah, sempat pulang sebentar. 5 bulan di Jakarta, dia kembali ke Jepang untuk bekerja di perusahaan otomotif yang sama, yang memberinya beasiswa melanjutkan S2 dulu. Ketika kuliah pun, dia memang sambil bekerja di sana.

Waktu pulang ke Indonesia selama 5 bulan itu, dia memang cuma seminggu kesini, ke Kabanjahe, untuk ziarah dan juga tinggal di rumah ini. Tidak lama, sangat tidak lama.

"Bi Uda ga mau Bang Nu nikah sama orang Jepang?"

"Ah, ga usah lah, sama orang Karo aja udah," kata Bi Uda, sementara aku tersenyum.

"Tapi kalau memang ada pacarnya orang Jepang, ya gapapa lah. Asal ada aja yang suka sama Bang Nu itu pun udah bagus,"

Dan aku tidak bisa menahan tawaku. Kesannya, abangku itu begitu tidak laku. Padahal, sejak dia kuliah dulu, aku tahu ada temannya yang cinta mati padanya. Tapi memang di kepalanya hanya ada belajar dan belajar.

"Masalahnya, Bang Nu itu pulang aja pun payahnya luar biasa, apa lagi cari pacar. Papa itu kan dah mau juga dia ngantar anaknya ke gereja. Katu itu udah pula 3 tahun yang lalu nikah," kata Bi Uda lagi. Aku, sekali lagi, hanya bisa tersenyum.

Kak Ina – panggilan untuk Alemina, nama kakakku yang paling besar – memang sudah menikah 3 tahun yang lalu, walaupun, anaknya justru baru lahir sekitar 4 bulan yang lalu. Mereka memang agak lama diberikan anak, mungkin karena di tahun pertama pernikahan, juga masih ingin fokus dengan pekerjaan masing-masing. Selain juga karena suami Kak Ina, yang bekerja di rig, masih lebih sering ditugaskan di tengah laut, dan belum bisa bekerja di kantor saja. Untungnya sekarang intensitas ke laut untuk melihat proyek, lebih jarang. Sehingga bang Sam bisa lebih sering menemani Ka Ina dan anak mereka di rumah.

"Mama apalagi, udah pengen kali dia itu jahit kebaya," kata Bi Uda lagi. Aku lagi-lagi hanya tersenyum. Jahit kebaya itu merupakan kode agar seorang anak menikah. Waktu Kak Ina menikah dulu, ribetnya mengurus pernikahan memang luar biasa. Aku baru tahu pernikahan adat Karo ternyata lumayan memusingkan. Belum lagi melihat Kak Ina dan Bang Sam dengan pakaian adat Karo, tudung Kak Ina yang pasti super berat itu, belum lagi segala perlengkapan berbentuk perhiasan yang – walaupun sudah berulang kali diterangkan mama apa namanya – tidak pernah kuingat disebut apa.

"Bi Uda pun kayaknya udah pengen kali kebaya baru, ya?" kataku dengan senyum menggoda, dan Bi Uda akhirnya tertawa.

"Iya lah. Pengen kali Bi Uda ke Jakarta, urus-urus anak Bi Uda ini nikah, bantu-bantu ini itu. Kalo nunggu anak Bi Uda sendiri, masih lama kali," kata Bi Uda. Kali ini kami berdua tertawa bersama-sama.

AlleindraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang